Kesulitan dalam budidaya yang tidak mudah ditebus dengan keuntungan berlipat.
Memasuki Dusun Kumbo-Desa Tlogosari, Kecamatan Purwodadi, Pasuruan, Jatim, hawa dingin mulai menyergap. Suasana perbukitan dan jajaran pohon apel di kanan-kiri jalan menambah asri pemandangan. Daerah ini juga cocok untuk bertanam paprika. Wajar bila berderet-deret rumah plastik (greenhouse) dengan warna hijau dan putih berisikan tanaman cabai manis mendominasi dusun tersebut.
Produksi
Sujianto, salah satu petani paprika di sana, mengatakan, ”Sistem budidaya paprika susah. Kendalanya banyak sekali: virus, hama thrips, mildew (cendawan). Hasil paprika tergantung perawatannya. Jika perawatan baik, ya untung, kalau kurang baik ya rugi.”
Namun kendala yang besar itu tidak menyurutkan Sujianto mengupayakan paprika. Lahan milik 10 keluarga yang dikelolanya mencapai 4 hektar (ha). Ia menerapkan sistem budidaya hidroponik dari Belanda. Karena itu pula ia menggunakan benih hibrida dari salah satu produsen asal Belanda.
Berbincang tentang biaya produksi, pemilik dua hektar kebun paprika itu menjelaskan, untuk 1.000 tanaman menghabiskan dana sekitar Rp35 juta. Dana sebanyak ini dialokasikan ke pembuatan rumah plastik dan 280 batang bambu. Rumah plastik itu bisa dipakai sampai empat siklus.
Lebih lanjut Sujianto memaparkan tahapan cara budidayanya. Benih disemai selama 7—10 hari. Kemudian bibit dipindahkan ke polibag berwarna hitam selama 20 hari. “Setelah 20 hari ditanam bersama-sama dengan polibag-nya di dalam polibag berwarna putih yang panjang melintang. Medianya berupa arang sekam,” ujar petani yang lahannya biasa dikunjungi media elektronik nasional dan lokal. Satu hektar memuat sekitar 15.000 tanaman.
Setelah menginjak umur tiga bulan, tanaman bisa mulai dipanen. Panen dilakukan setiap minggu sampai 9 bulan. Setelah 9 bulan, tanaman dibongkar karena hasilnya sudah tidak bagus lagi. Total produksi per tanaman berkisar 6—7 kg.
Perawatan tanaman meliputi pemberian pupuk, aplikasi pestisida, dan memotong daun-daun yang rusak (wiwilan). Pupuk yang digunakan Sujianto juga keluaran dari pemasok benihnya. Dosisnya tergantung kondisi tanaman.
Keuntungan Berlipat
Ketika dikunjungi AGRINA Juni lalu, menurut Sujianto, harga paprika di pasaran sekitar Rp20.000 (paprika merah), Rp22.000 (paprika kuning), dan Rp14.000 (paprika hijau) per kg. Ia menjual hasil panennya ke Bandung yang biasanya untuk diekspor ke Singapura. Pengiriman ke Bandung seminggu sekali sebanyak sekitar 2 ton.
Selain itu ia juga melempar ke Surabaya, Malang, dan Balikpapan lewat Surabaya. “Kalau pengiriman ke Surabaya dua hari sekali sebanyak 300—400 kg. Untuk pasar Bandung seberapa banyak pun bisa tapi kadang kurang karena barang kosong akibat penyakit atau bongkar lahan,” tutur Sujianto lagi.
Soal harga, menurut pengalaman Sujianto, tidak pernah jatuh. “Ya standar saja harganya. Kalau barang kosong, harga bisa tinggi ketika memasuki musim kemarau karena semua petani membongkar lahannya. Saya tidak ada patokan khusus, waktu mana yang baik untuk menanam, jadi terus-menerus bongkar-tanam, selalu begitu karena permintaan pasar Bandung tidak bisa ditinggal, harus kontinyu,” paparnya. Ia menambahkan, prospek bisnis paprika sangat cerah asalkan petani telaten
Mau tahu gambaran keuntungan petani itu? Tinggal hitung saja berapa keuntungan masuk ke kocek Sujianto. Satu hektar berisi sekitar 15.000 tanaman. Per tanaman menghasilkan 6—7 kg. Biaya per tanaman, menurut hitungan produsen saprotan asal Belanda itu, Rp30.000—Rp35.000. Harga Rp14.000—Rp22.000 per kg. Berlipat bukan untungnya?
Indah Retno Palupi (Surabaya)