Pemerintah telah meluncurkan tujuh langkah operasional dan pendukung swasembada daging sapi. Tapi realisasinya masih dipertanyakan.
Diakui Fauzi Luthan, Direktur Budidaya Ruminansia, Ditjen Peternakan, kondisi riil bisnis peternakan sapi potong memang berat. Pasalnya, “Kalau kita melihat roadmap yang kita susun, tahun ini kita masih impor sekitar 33%,” ujarnya. Meski begitu, “Kebijakan Ditjen Peternakan masih berada di jalur yang benar,” ujarnya saat tampil sebagai pembicara dalam diskusi terbatas bertema “Menuju Swasembada Daging Sapi” di Ruang Rapat Ditjen Perkebunan, Jakarta (24/6).
Dalam diskusi yang digelar Tabloid AGRINA dan Majalah TROBOS itu juga tampil Siti Adiprigandari, Ph.D. (peneliti Indonesia Research Strategic Analysis–IRSA), Dr. Rochadi Tawaf (Dosen Fapet Unpad), Ir. Henny Muhardini, M.Si. (Sekretaris Dinas Peternakan Jatim), dan Drh. H. Abdul Samad (Kepala Dinas Peternakan Nusatenggara Barat).
Peserta diskusi terdiri dari sejumlah pelaku bisnis sapi potong anggota Apfindo, peneliti, kalangan akademisi, tokoh PDHI, Askesmaveti, dan rombongan anggota Forum Wartawan Pertanian. Diskusi sendiri berlangsung seru, saling menyuguhkan data versus fakta lapangan.
Fatamorgana?
Untuk mengatasi kondisi yang berat itu, Ditjen Peternakan merilis Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) 2010. Namun target pencapaiannya diundur ke 2014. Tak hanya penambahan populasi sapi yang dikejar, tetapi juga peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak melalui pembukaan lapangan kerja.
Target P2SDS sampai 2010 adalah terpenuhinya kebutuhan konsumsi sebanyak 414,3 ribu ton daging. Penyediaannya dari dalam negeri 90,2% dan impor 9,8%. Untuk itu pemerintah meluncurkan tujuh langkah operasional dan pendukung: optimalisasi akseptor dan kelahiran inseminasi buatan (IB), penanganan gangguan reproduksi, pengendalian pemotongan betina produktif, pengembangan mutu dan penjaringan bibit, pengembangan pakan lokal, penyebaran pejantan unggul, serta pengembangan SDM dan kelembagaan.
Menurut Rochadi, impor sapi bakalan pada 2008 sekitar 600 ribu ekor. “Logikanya, bemper yang dilakukan oleh impor akan meningkatkan populasi sapi lokal karena yang dipotong dari impor ‘kan besar-besar, 400—450 kg. Tapi nyatanya, dari data 10 tahun terakhir, populasi menurun 0,66%,” ujar Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) itu.
Karena itu Rochadi menyodorkan konsep kawasan industri perbibitan Sentra Agribisnis Sapi Potong Andalan (Sasatoan). Di lokasi tersebut nantinya terdapat peternak rakyat, pebisnis swasta, industri pakan, perbankan, pemerintah, rumah potong, dan pasar daging. Pengelolaannya dengan pola insentif. Konsep yang disusun bersama Bappeda Jabar ini menjawab program perbibitan dari pemerintah, misalnya village breeding center (VBC). “Apakah VBC yang ditetapkan pemerintah sudah ada? Kalau sudah ada, apakah seperti fatamorgana? Ada, tapi begitu kita datang ke lokasi tidak ada,” tanyanya.
Menurut dia, peternak di kawasan VBC sekarang tanpa pasokan insentif. Tidak ada pembebasan pajak bumi dan bangunan (PBB), tidak tersedia kredit, tidak ada kredit berbunga 6% seperti yang direncanakan. “Bagaimana menjangkau itu semua, tidak ada! Sehingga ini perlu insentif pemerintah yang luar biasa untuk membangun supaya mereka bisa kompetitif di pasar dalam negeri,” katanya. Ia juga mengemukakan penelantaran kawin alami dan lebih mengutamakan inseminasi buatan (IB) sebagai salah satu penyebab kegagalan peningkatan populasi. Pasalnya, kondisi infrastruktur di Indonesia tidak semuanya cocok untuk IB.
Namun menurut Fauzi, populasi sapi potong sebagai salah satu indikator, sejak 2005 tumbuh 4,1%. Pertumbuhan tertinggi dicapai pada 2007, yaitu 6,05%, tapi pada 2008 turun menjadi 3,1%. “Ini menarik. Pak Rochadi sudah kemukakan, dalam 10 tahun angka populasi kita menurun. Tapi melihat angka-angka tahun-tahun terakhir, ada peningkatan populasi yang cukup signifikan. Artinya apa? Langkah-langkah kita lakukan dewasa ini sudah bisa meningkatkan populasi. Memang kalau lihat angka 10 tahun sangat njomplang, apakah statistiknya yang keliru, apa begitu kenyataannya? Seperti saya katakan, ada yang percaya, ada yang tidak, bahwa ada peningkatan populasi yang cukup baik,” ujarnya sedikit defensif.
Fakta Lapangan
Apakah semua program pemerintah gagal? Henny Muhardini dari Jatim memaparkan strategi peningkatan populasi. “Kami punya program Intan Sejati (Inseminasi Buatan Sejuta Akseptor Sapi) yang dimulai tahun 2000. Sekarang targetnya 1,375 juta ekor per tahun. Kalau dulu untuk satu juta akseptor sapi, sekarang untuk menghasilkan satu juta anakan sapi per tahun,” tuturnya.
Evaluasi pelaksanaan target P2SDS tahun ketiga di Jatim, lanjut Dini, cukup baik. Dari target IB sebanyak 851.043 ekor tercapai 895.873 ekor. Sementara target angka kelahiran yang 620.387 ekor terpenuhi 98,5%. Menyoal VBC yang disindir sebagai fatamorgana oleh Rochadi, dia membantah, “Itu nggak betul. VBC di Jatim masih ada, malah kita integrasikan dengan kluster kegiatan pertanian,” kilahnya.
Tentang pengendalian pemotongan sapi betina produktif memang sulit dilakukan. Berkat perintah gubernur baru ke bupati-bupati untuk mengawasi pemotongan hewan betina produktif, jumlahnya makin berkurang.
Sedangkan permodalan, Jatim menerapkan pola perguliran dengan Peraturan Gubernur Nomor 6/2006. Dana berbunga 6% ini hasil kerjasama dengan Bank Jatim. “Kita sudah luncurkan sekitar Rp28 miliar. Dan itu bergulir untuk peternak-peternak yang arahnya ke perbibitan,” jelasnya lebih jauh. Pengucuran Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) juga cukup lancar tetapi besarannya tergantung kemauan kepala daerah setempat. Jadi, simpul Dini, selama tiga tahun pelaksanaan P2SDS terjadi peningkatan populasi 4,1%, akseptor IB 9,6%, angka kelahiran 0,5%, dan pemasukan ternak 135,7% per tahun.
Sementara Abdul Samad menyingkap betapa tinggi nilai ekonomi sapi bagi masyarakat setempat. Populasi sapi NTB kini tercatat 546.114 ekor. Peran daerah sebagai sumber bibit sapi bali membuat pihaknya harus mengatur pengeluaran bibit. “Sekarang kami sedang pusing melakukan penolakan 14 provinsi yang rata-rata minta 8.000 ekor. Delapan ribu kali 14, habis sapi NTB, nggak akan jadi satu juta,” ucapnya.
Untuk itu Pemda NTB mempunyai Program Bumi Sejuta Sapi (BSS). “BSS adalah program peningkatan populasi dengan melaksanakan akselerasi, inovasi, dan nilai tambah terhadap usaha peternakan,” terang Samad.
Semangat NTB sungguh bagus. Ada tekad meningkatkan jumlah induk diikuti pemanfaatan pejantan unggul, mengupayakan satu induk-satu anak-satu tahun, mengamankan pedet dari kematian, menihilkan pemotongan betina produkif, menggiatkan penanaman hijauan pakan, mengatur pengeluaran bibit ternak, dan menumpas penyakit hewan menular strategis.
Sayang, BSS baru sebatas program. Diakui Samad, anggarannya belum turun karena pencanangan BSS berlangsung pada 17 Desember 2008. Berarti lewat dari batas pengajuan anggaran. Bukankah itu juga masih fatamorgana?
Peni SP