Murah dan pertumbuhannya pun tak kalah dibanding benur yang dihasilkan dari induk impor. Kelebihan lainnya, tahan terhadap serangan penyakit.
Benur yang pertumbuhannya cepat dan tahan terhadap serangan penyakit menjadi kunci utama keberhasilan budidaya udang Vanname. Saat ini petambak banyak yang mengalami kerugian akibat serangan penyakit White Spot, Taura, Mio, dan komplikasi dari beberapa penyakit. Benur “sakti” menjadi kebutuhan utama petambak. Yang terbaru adalah benur Vanname Nusantara–1 (N-1) yang merupakan hasil kawin silang (cross breeding) dan silang balik (backcross) beberapa Vanname unggul.
Sebelum dilepas ke masyarakat (28/5), N-1 diujicoba dengan hasil yang memuaskan. Petambak yang sudah mencoba benur produksi Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo ini, antara lain H. Hardi Pitoyo (Wakil Ketua SCI), PT Bumi Asri Lestari (BAL), Situbondo, serta Safwin (Ketua SCI Medan). Berdasarkan pengalaman para petambak tersebut dapat disimpulkan kualitas benur Vanname N-I tidak kalah dengan benur F-1 yang dihasilkan dari induk impor.
Pertumbuhan Relatif Cepat
PT BAL berhasil memanen Vanname size 52 ekor per kg dengan masa budidaya sekitar 4 bulan. Sementara benur F-1 harus dipanen pada umur 80 hari karena terserang penyakit. Padahal waktu tebar hampir bersamaan. Hal ini membuktikan, benur N-1 lebih tahan dibandingkan benur F-1. N-1 yang dibudidayakan Heri Sudarmon, petambak Sidoarjo, juga menunjukkan performa sangat bagus. Sebaliknya benur F-1 dalam waktu pemeliharaan dua bulan sudah terserang penyakit IMNV atau Mio.
Pada umur 100 hari, N-1 yang dipelihara sudah mencapai size 60-an. Memang sedikit lebih lambat pada awal, tetapi cepat di akhir pemeliharan. Dan pada umur 80 hari, pertumbuhan N-1 bisa menyamai benur F-1. Benur yang lebih tahan penyakit, pertumbuhannya memang sedikit lebih lambat karena sebagian energi yang diperoleh digunakan untuk membentuk kekebalan tubuh.
Perbandingan pertumbuhan udang N-1 dan F-1 berdasarkan data yang diperoleh dari SC Medan yang dipresentasikan dalam Forum Udang Nasional di Bali (29/5). Dari data tersebut diketahui berat rata-rata F-1 adalah 10,29 gr dan N-1 10,05 gram. Dan berdasarkan hasil uji statistik tidak ada perbedaan pertumbuhan (berat) antara F-1 dan N-1.
Performa N-1 yang relatif tahan terhadap serangan virus Mio dan virus-virus lainnya, merupakan potensi yang luar biasa. N-1 juga punya kelebihan lain, yaitu harganya jauh lebih murah, memberi hasil panen yang baik, dan biaya produksi lebih murah. Penggunaan benur N-1 mengurangi biaya produksi rata-rata Rp1.500 per kg.
Jangan Dicampur
Pertambakan udang di Indonesia, terutama di pantai utara Jawa, banyak mengalami kegagalan yang salah satu sebabnya adalah serangan penyakit. Penyakit White Spot, Taura, dan beberapa penyakit lain dapat memusnahkan udang dalam beberapa hari saja. Berbeda dengan penyakit Mio, kematian udang bertahap dan tidak sebanyak serangan penyakit White Spot maupun Taura. Namun kerugian yang ditimbulkan tak kalah besar bagi petambak.
Hal ini disebabkan udang yang terserang Mio tidak menunjukkan penurunan nafsu makan, tapi jika diperhatikan dengan teliti populasi udang yang dipelihara terus berkurang. Akibatnya, pakan diberikan tidak sebanding dengan biomassa yang dihasilkan. Dengan kata lain akan terjadi pembengkakan nilai konversi pakan (FCR). Berdasarkan pengamatan di lapangan, udang yang terserang penyakit Mio, FCR-nya bisa sangat tinggi, berkisar 1,6—2,3, bahkan bisa lebih dari itu.
Melihat berbagai kegagalan akibat serangan penyakit tersebut dan keberhasilan petambak yang menggunakan N-1, tidak ada salahnya petambak mencoba benur N-1. Dengan begitu petambak bisa terhindar dari penyakit dan menghemat devisa pembelian induk. Seekor induk udang betina impor harganya sekitar Rp400 ribu (US$ 40) dan yang jantan Rp250 ribu (US$ 25). Padahal, induk produksi BBAP Situbondo dijual dengan harga Rp25.000 per ekor.
Sambil terus memantau performanya, biarlah F-1 berdampingan dengan N-1 di tambak-tambak Indonesia. Namun, disarankan untuk tidak mencampur benur F-1 dan N-1 dalam budidayanya. Hal ini untuk menghindari dampak negatif akibat pencampuran benur hasil domestikasi tersebut. Demikian juga kepada para produsen benur dianjurkan untuk tidak mencampur kedua jenis induk yang berbeda itu.
Ir. Suprapto/Tim Teknis SCI