Selasa, 23 Juni 2009

Swasembada atau Impor

Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS), patut dibanggakan. Sebab, kebijakan tersebut berkaitan dengan ketahanan pangan, kedaulatan negara, dan kesejahteraan masyarakat.

Memang, menggapai swasembada daging sapi minimal 90% dipasok dari produksi sendiri, tidak mudah. Selain keterbatasan pasokan dari dalam negeri, yang hingga kini baru mampu menyediakan 70% dari total kebutuhan, upaya swasembada juga menghadapi tantangan pertumbuhan permintaan rata-rata 3,8% per tahun.

Kini, pencapaian swasembada daging sapi tampaknya kian sulit. Soalnya, dalam enam bulan terakhir, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif dengan P2SDS. Yaitu, Permentan No. 20/Permentan/OT.140/4 2009 tertanggal 8 April 2009, dan penandatanganan perjanjian perdagangan bebas Asean, Australia, dan Selandia Baru (FTA-ANZ) yang akan berlaku 27 Agustus mendatang. Tak terhindari, dengan perubahan sistem importasi dari sistem negara ke zona (Permentan No. 20/2009) dan perjanjian FTA-ANZ, akan membawa implikasi berupa ancaman produk ruminansia impor.

Boleh dibilang, Permentan No. 20/2009 mengubah pola pikir dari kebijakan ketahanan pangan menjadi berpijak pada pandangan liberalisasi. Dengan liberalisasi, berarti membuka kran impor daging dan membiarkan peternakan rakyat, termasuk industri penggemukan sapi potong, bersaing untuk memperoleh pangsa pasar di negeri sendiri.

Hasil penelitian Indonesia Research Strategic Analysis (IRSA) dari UI menyimpulkan, industri daging (termasuk jeroan dan sejenisnya) terkait dengan 37 sektor hulu dan 29 sektor hilir. Sedangkan industri daging olahan dan awetan terkait dengan 37 sektor hulu dan 17 sektor hilir. Artinya, bila industri sapi potong dalam negeri terganggu, paling tidak 66 sektor hulu dan 54 sektor lainnya ikut goncang.

Hasil penelitian itu juga menyebutkan, industri daging memerlukan input sekitar Rp39,2 triliun. Sedangkan industri daging olahan dan awetan, input antaranya sebesar Rp762,9 miliar serta input primer Rp290 miliar.

Benar, kontribusi nominal industri sapi potong terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional tidak besar. Tapi, jika industri sapi potong hilang atau tidak berfungsi, maka permintaan input dengan total sekitar Rp40,7 triliun itu ludes dari perekonomian nasional.

Untuk mengetahui efek perubahan industri daging olahan dan awetan terhadap total output nasional (angka pengganda output), dapat dilihat dari data BPS. Berdasar tabel input-output BPS 2007, angkanya mencapai 2,35 atau berada pada peringkat pertama dari 175 sektor. Sedangkan angka pengganda output industri daging (termasuk jeroan dan sejenisnya) pada peringkat ke-39 dari 175 sektor.

Hal ini berarti, jika permintaan atas daging awetan dan olahan meningkat Rp1, maka total tambahan output yang tercipta Rp2,35. Begitu pula dengan industri daging (termasuk jeroan dan sejenisnya), total tambahan output yang tercipta Rp1,89.

Angka pengganda output itu cukup tinggi lantaran industri daging memerlukan input dari sektor lain, seperti padi, jagung, hijauan makanan ternak, pakan konsentrat, dan obat-obatan. Kemudian permintaan terhadap padi, jagung, hijauan makanan ternak, pakan konsentrat, dan obat-obatan menginduksi sektor yang menjadi input tersebut. Begitu seterusnya.

Bila demikian, akankah pemerintah tetap konsisten pada kebijakan ketahanan pangan, bukan liberalisasi? Jika konsisten terhadap kebijakan ketahanan pangan yang mengacu ke kedaulatan negara dan kesejahteraan masyarakat, maka pemerintah harus menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif untuk membangun dan mengembangkan peternakan rakyat termasuk industri penggemukan sapi potong, guna mewujudkan swasembada daging.

Swasembada daging itu berarti pula membangun sistem dan usaha agribisnis peternakan. Karena itu, pemerintah seyogyanya menumbuhkembangkan dan memperkuat agribisnis peternakan melalui berbagai instrumen kebijakan. Pemerintah berperan sebagai fasilitator, regulator, dan promotor pembangunan sistem dan usaha agribisnis.

Sistem dan usaha agribisnis peternakan harus dipromosikan yang berdaya saing. Sstem dan usaha agribisnis peternakan juga harus dipromosikan pemerintah yang berkerakyatan bercirikan pelibatan rakyat banyak, berlandaskan pada sumber daya yang dimiliki dan atau dikuasai rakyat banyak.

Dadang W. Iriana

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain