Lebih baik menambah impor sapi hidup daripada mengimpor daging.
Demikian ditandaskan H.A. Warsito yang sudah menekuni berdagang daging sapi selama 30 tahun di Jakarta. “Untuk jangka panjang, lebih baik menambah impor sapi hidup (bakalan). Sebab kalau terus-terusan mengimpor daging, sapi lokal punah,” ucapnya.
Selain tidak memberikan nilai tambah, lanjut Warsito, yang diuntungkan dari impor daging itu hanya segelintir orang. Beda dengan mengimpor sapi bakalan yang bisa menyelamatkan sekaligus menambah populasi sapi lokal, menyerap banyak tenaga kerja, menyerap limbah tanaman (pakan), dan kotorannya menjadi pupuk organik. “Jangan terbalik, impor sapi dituduh menekan sapi lokal, itu salah,” jelasnya.
Lebih jauh pria asal Madiun, Jatim, tersebut, menuturkan, agar populasi sapi lokal bertambah, setiap importir sapi (feedlot) diwajibkan melakukan pembibitan. Tak perlu banyak, dari jumlah bakalan yang diimpor, 10%—20%-nya dijadikan bibit.
Di samping itu, pemerintah juga terus menjalankan inseminasi buatan (IB) dan memperketat pemotongan betina produktif. Khusus di Jakarta, dibuat peraturan tidak boleh memotong betina produktif. Betina boleh dipotong di daerah bila sapi itu sudah tua (tidak produktif). Ditambah lagi, pemerintah harus memperketat impor daging. “Dengan cara itu, 10—15 tahun yang akan datang, Indonesia bisa swasembada daging sapi. Kalau dengan cara sekarang (Program Percepatan Swasembada Daging Sapi/P2SDS, Red.), sampai kapanpun tidak mungkin swasembada,” tegasnya.
Kian Terkuras
Warsito menggambarkan sulitnya sekarang memperoleh sapi lokal. Setiap hari ia memotong 25 ekor, semuanya sapi impor yang dibeli dari perusahaan penggemukan (feedlot). Padahal, kurun 1980—1995, ia bisa memotong 50 ekor per hari, dan 100% sapi lokal. Sejak 1995—2000, sapi yang ia potong 50%-nya asal impor. Dan sejak tahun 2000 sampai sekarang, ia hanya main sapi impor. “Kalau ada yang punya sapi lokal, saya beli kontan di Jakarta Rp22.000 per kg hidup. Harga itu saya lebihkan Rp1.000 per kg dari harga sapi Australia yang Rp21.000 per kg hidup,” tantangnya.
Kebutuhan sapi potong untuk Jabodetabek, menurut hitungan dia, sekitar 1.000 ekor per hari. Dari jumlah itu, kurang dari 20%-nya sapi lokal. Kenyataan itu bisa dilihat setiap malam dari jagal per jagal, seperti di Rumah Potong Hewan (RPH) Cakung, Pulogadung, Tanjung Priok, Karawaci, Gondrong, Bayur, Cisalak, Ciputat, Bekasi, dan Ujungaspal.
Era 1980-an—1990-an, setiap hari, RPH Cakung memotong sampai 700 ekor sapi, sedangkan sekarang hanya 60—70 ekor. Jumlah sapi lokalnya pun paling banyak 6—7 ekor.
Selain akibat kelangkaan sapi lokal, omzet pemotongan RPH tertekan oleh membanjirnya daging sapi impor (beku). Volume daging segar pun berkurang. Padahal, secara umum konsumen Indonesia itu lebih membutuhkan daging segar. “Dengan semakin banyak daging sapi impor, keberadaan RPH terancam. Di Cakung saja pemotongan tinggal 10%. Seandainya RPH Cakung milik swasta, sudah pasti gulung tikar,” urai Warsito.
Ditengarai, setiap minggu masuk 4—5 kontainer daging sapi impor ke gudang Cakung, yang disewakan ke pengusaha swasta. Kemudian didistribusikan ke pasar tradisional dan pasar modern. “Daging beku dari luar negeri terus berdatangan. Jika tidak dibatasi, daging sapi lokal atau pemotongan sendiri akan kalah bersaing. Masyarakat akan susah mendapatkan daging segar,” kata Munali, Staf RPH Cakung, seperti dilansir Antara.
Sekadar informasi, 200 kontainer (3.400 ton) daging dan jeroan sapi impor yang sempat ditahan di Pelabuhan Tanjung Priok (2/6), segera akan dilepas pemerintah. Semula, daging dan jeroan sapi asal Australia dan Selandia Baru senilai Rp136 miliar itu, diragukan kehalalannya. Namun, LPPOM MUI menyebutkan daging sapi impor tersebut halal.
Dadang W. Iriana