Minggu-minggu ini kita sedang berada di tengah “pusaran” pemilihan presiden (Pilpres). Setiap hari perhatian masyarakat ditarik oleh berita dan iklan koran, debat TV, pajangan spanduk, poster, dan arak-arakan untuk mematut-matut tiga calon pimpinan nasional yang baru atau minta dilanjutkan mandatnya. Tentu ketiga pasangan capres dan cawapres itu merasa diri punya empati dan paling kompeten. Sebaliknya, berbagai kalangan masyarakat pun berseru tentang presiden yang harus peduli petani, peduli buruh, peduli Lapindo, TKI, daerah tertinggal, kebudayaan, pemberantasan korupsi, mafia peradilan, sampai pada Ambalat.
Sebenarnya apa yang didambakan rakyat dan disambung-lidahkan oleh para kontestan pemilu sudah terdapat dalam Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) dan Panca Yasa Pertanian yang dijalankan pemerintah sekarang ini. RPPK dilandaskan pada strategi tiga jalur: pro-gowth, pro-employment dan pro-poor. Dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi 6,5%; pembenahan sektor riil untuk menyerap angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja, revitalisasi pertanian dan pedesaan untuk mengentaskan kemiskinan. Dalam Panca Yasa ada perbaikan infrastruktur pertanian, pengaktifan kelompok tani, perbaikan penyuluhan, akses pendanaan serta pemasaran hasil pertanian.
RPPK yang mengejar rata-rata pertumbuhan pertanian, perikanan, dan kehutanan 3,5% per tahun memang bukan retorika. Setidaknya ini ditunjukkan dengan dua kinerja yang menonjol: peningkatan produksi beras sebanyak dua juta ton pada 2007, dan surplus beras 2008. Pemerintah juga menggelontorkan dana sampai hampir Rp20 triliun untuk subsidi benih dan pupuk, irigasi, menyediakan sejumlah skim memajukan pertanian.
Masalah pertanian adalah masalah survival bangsa, apalagi yang populasinya berjubel seperti Indonesia. Ia bergandengan dengan masalah kependudukan yang makin tak terkendali. Maka revitalisasi bidang pertanian adalah pekerjaan tiada henti, terus menerus menutup kesenjangan antara produksi dan konsumsi lantaran perut tidak bisa menunggu. Karena itu keberhasilannya tidak cukup diukur dengan kemajuan yang dicapai sekarang dibandingkan kemarin. Ukurannya adalah jaminan akan ketersediaannya yang berkelanjutan.
Untuk itu, baiknya kita perhatikan peringatan Dr. Bayu Krisnamurthi, ketahanan berkelanjutan tak mungkin terpenuhi tanpa peningkatan pendapatan petani. Sementara Prof. Sjamsoe'oed Sadjad (guru besar emeritus IPB) mempertanyakan kebijakan sebatas yang produktivitas, tetapi mengabaikan petaninya yang tetap sekadar "aparat" proses produksi.
Bayu mempersyaratkan pula stabilitas pasokan dan harga dalam negeri, serta pengelolaan pasar internasional. Mutlak pentingnya produktivitas air dan lahan, efisiensi pascapanen, penganekaragaman jenis beras berkualitas, pendayagunaan produk turunan padi, serta usaha pertanian skala besar. Prof. Sadjad bicara tentang konsolidasi lahan yang dikelola secara efisien, profesional, industrial oleh petani, dan menghidupi petaninya. Sementara Prof. Widjang H. Sisworo (anggota Dewan Riset Nasional) mengingatkan pemanfaatan teknologi untuk mengenjot produktivitas juga pembangunan dan rehabilitasi irigasi, mewaspadai alih fungsi lahan pertanian, serta risiko degradasi dan penurunan kemampuan lahan sawah.
AGRINA, yang nonpartisan, pernah mempertanyakan tentang efisiensi subsidi benih dan pupuk yang menguntungkan industri dan pedagang. Juga mengemukakan tentang pendekatan strategis mengutamakan pasar dalam negeri. Yang kajian dan langkahnya sebenarnya sudah ada di birokrasi dan akademisi. Yang dihidupkan oleh perdagangan antarpulau dan matarantai pasokan berkelanjutan, dengan memadukan kegiatan pascapanen, pergudangan, transportasi, dermaga, sampai ke pasar lokal. Sekaligus mengangkat keunggulan komparatif masing-masing daerah.
SBY boleh melanjutkan, JK boleh mempercepat, Mega menegakkannya berdikari. Tapi pertanian dan ketahanan pangan berkelanjutan adalah soal kestabilan ekonomi, politik, keamanan. Tentang survival yang berkedalaman dan berlapis, yang melingkupi nusantara seanteronya. Yang untuk menjaminnya, dikerjakan tiada henti, melampaui pemilu-pemilu dan pemerintahan yang silih berganti. Terlalu semesta kalau hanya untuk jargon politik praktis.
Daud Sinjal