Senin, 25 Mei 2009

Produktif, Efisien, Efektif

Negeri-negeri Asia Selatan dan Tenggara punya tradisi irigasi cukup panjang. Salah satu penguasa India tahun 1350 membangun kanal sepanjang 400 km yang mengairi pertanian dan menghasilkan pangan untuk jutaan penduduk sekitar New Delhi. Irigasi pertanian di Sumatra, Jawa, dan Bali (subak) juga diketahui semenjak masa kerajaan Hindu dan Budha.

Dalam perjalanannya kemudian, nasib India dan Indonesia mirip, yakni jumlah penduduk membengkak dan tidak cepat bisa diimbangi dengan penambahan luas lahan pertanian pangan. Kendala utamanya juga sama, ketersediaan air dan keterjangkauannya.  

India pernah setiap satu dasawarsa dilanda bencana kelaparan. Dan buat negara besar dengan penduduk banyak itu, bilangan kematiannya puluhan ribu manusia dan ratusan ribu ternak. Pada 1946 Indonesia yang baru beberapa bulan merdeka mengirimkan bantuan beras untuk korban kelaparan India.

Negeri itu, yang merdeka 1947, masih beberapa kali diserang kelaparan sampai 1970. Tapi sekarang berkat investasi besar-besaran di bidang pengairan dan penerapan teknologi modern, India menjadi negara berketahanan pangan dan punya cadangan sampai 44 juta ton biji-bijian pangan (survei ADB, 2001). Kini 59 juta ha lahan di sana berpengairan teknis. India mempunyai Indira Gandhi Canal, saluran irigasi 660 km, terpanjang di dunia.  

Di Jakarta, di depan seminar “Swasembada Beras Berkelanjutan” digelar AGRINA 29 April lalu, Dr. Bayu Krisnamurthi, menekankan pentingnya air. “Pupuk bisa dibeli, kredit bisa dicari, tapi tanpa air, petani berhenti bekerja”. Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan itu mengingatkan, ketahanan perberasan berkelanjutan tidak bisa terpenuhi tanpa adanya peningkatan pendapatan petani, stabilitas pasokan dan harga dalam negeri, serta pengelolaan pasar internasional.

Bayu menyebut lima langkah untuk meningkatkan pendapatan petani, yakni produktivitas air dan lahan (dengan benih dan teknologi), efisiensi pascapanen, menganekaragamkan jenis beras yang berkualitas, mendayagunakan produk turunan padi (untuk pupuk, pakan, energi, serat). Juga pentingnya usaha pertanian pangan skala besar, seperti rice estate yang antara lain akan dibangun Bupati Merauke.

Pendapatan petani itu harus ditopang infrastruktur air, listrik, transportasi, riset, kelembagaan, dan insentif (subsidi dan pajak). Namun dari semua instrumen pendukung itu, Bayu Krisnamurthi menempatkan air yang paling utama. Pasalnya, air merupakan kendala terbesar, apalagi di tengah perubahan iklim. Pemerintah, kata dia, menganggarkan sampai Rp100 triliun untuk infrastruktur irigasi pertanian. Tapi itu baru meliputi Jawa dan Sulsel. Yang menjadi keprihatinannya, produktivitas air untuk pertanian pangan kita masih sangat boros, 1.000 liter untuk 1 kg beras.

Kita, bangsa yang menyia-nyiakan anugerah alam. Negeri dengan curah hujan sepanjang tujuh bulan dalam setahun membiarkan air mengalir percuma ke laut. Air di musim yang berkelimpahan itu menjadi bencana banjir dan longsor, karena penggundulan hutan, dan karena tidak ditampung di embung atau situ.

Indonesia, negeri dengan ketersediaan air nomor lima dunia, tapi luas lahan beririgasinya baru 6,77 juta ha. Sekitar 1,67 juta ha di antaranya rusak. Berlangsung alih fungsi lahan pertanian sekitar 35.000—40.000 ha per tahun. Kita pun belum mengenal budaya dari ulang air. Tidak seperti Singapura atau Jepang yang mendaur-ulang air sampai tiga atau empat kali.

Pesan dari editorial ini adalah produktivitas dan efisiensi. Tidak cuma berlaku pada air, tapi juga pada subsidi pertanian yang tahun ini melebihi Rp50 trilun.Tidak bisa dinyatakan ketahanan perberasan berkelanjutan, manakala air tidak merata tersedia sepanjang waktu dan tempat, manakala pendapatan petani tidak terangkat, manakala rawan pangan lokal masih mengintai, manakala mata anggaran berkelimpahan tapi pemanfaatannya tidak efisien.

Karena itu kami pun meneruskan pertanyaan pragmatis dari Bayu Krisnamurthi pada seminar tersebut: Apakah kebijakan subsidi pertanian kita sudah efektif?  Yang pada 2009 ini Rp12 triliun hanya untuk urea, Rp28 triliun didedikasikan untuk beras; Rp16 triliun untuk pupuk non-organik. Bagaimana membiayai pembangunan infrastruktur?

Daud Sinjal  

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain