Ternyata, rumput laut Glacillaria verucosa mampu meningkatkan ketahanan tubuh udang windu.
Produksi udang windu (Penaesus monodon) nasional terus merosot akibat belum diproduksinya benur berkualitas yang tahan penyakit. Dalam beberapa tahun terakhir, kontribusi udang asal Asia tropis ini paling rendah dibandingkan udang Vanname dan udang tangkapan. Penurunan produksi udang windu lebih banyak disebabkan serangan penyakit. Permasalahan itu timbul setelah terjadinya degradasi lingkungan.
Dari beberapa penelitian diketahui, rumput laut termasuk salah satu bahan potensial yang dapat digunakan sebagai imunostimulan (pembangkit kekebalan). Pasalnya, bahan aktifnya dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh udang, terutama terhadap serangan Vibrio harveyi, bakteri penyebab penyakit kunang-kunang. Salah satunya adalah karaginan, polisakarida yang melimpah pada rumput laut merah (Rhodophyta). Tanaman laut ini terbukti meningkatkan daya tahan tubuh ikan mas (Cyprinus carpio), udang putih (Penaeus merguiensis), dan udang windu (Penaeus monodon).
Tingkatkan Hematosit
Dalam perbaikan genetik, udang windu relatif tertinggal. Meskipun sejumlah balai penelitian, bahkan negara seperti Vietnam, mampu memproduksi induk udang windu specific pathogen free (SPF). Tapi untuk skala komersial, jenis udang ini relatif tidak tersedia. Bandingkan dengan industri udang Vanname yang sudah bisa menghasilkan induk dan benur SPF, specific pathogen resistant (SPR), bahkan kini sudah melangkah ke arah transgenik.
Yang jelas, penelitian terhadap udang windu terus berjalan, terutama dalam upaya meningkatkan ketahanan terhadap penyakit. Salah satunya adalah Mahfud Heni Toban dan kawan-kawan dari Universitas Brawijaya, Malang, yang memanfaatkan rumput laut merah dari jenis Glacillaria verucosa sebagai bahan stimulan. G. verucosa yang kaya â-glucan diyakini dapat digunakan sebagai bahan imunostimulan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh udang.
Dalam penelitian tersebut, digunakan rumput laut asal perairan Jepara, Jateng, yang telah mengalami ekstrasi selama 24 jam, penyaringan, dan sentrifugasi. Udang windu uji yang digunakan kemudian direndam selama tiga jam dalam larutan agar berkonsentrasi, masing-masing 1 ppt, 1,5 ppt, dan 2 ppt. Selanjutnya, seluruh udang uji diinjeksi dengan bakteri V. harveyi sebanyak 50 µl dalam larutan Trypticase Soya Agar (TSA) dengan kepadatan 106 CFU per ml.
Hasil uji menunjukkan adanya peningkatan jumlah hematosit atau sel darah putih (leukosit) tertinggi pada perlakuan perendaman dengan dosis 2 ppt sebesar 1,675 juta sel per ml, dibanding hematosit kontrol sebesar 685 ribu sel per ml. Hasil serupa juga terjadi pada penelitian udang Vanname (Litopenaeus vannamei) yang menggunakan ekstrak rumput laut jenis Sargassum dulicatum sebagai bahan imunostimulan.
Kandungan hematosit seluruh udang uji mengalami penurunan setelah diinjeksi dengan bakteri V. harveyi tetapi tetap lebih tinggi dibandingkan kontrol. Jumlah hematosit udang uji kembali meningkat enam hari setelah diinfeksi bakteri V. harveyi. Seluruh udang uji kontrol yang tanpa perlakuan perendaman ekstrak G. verusca, mati total dua hari setelah infeksi bakteri.
Untuk mengaktifkan hematosit, memang diperlukan bahan stimulan yang berasal dari luar tubuh (imunostimulan). Seperti dinding sel bakteri, karbohidrat kompleks (termasuk rumput laut), peptida, nukleutida, dan bahan-bahan sintetis lainnya.
Gunakan Probiotik
Vibrio merupakan mikroorganisme yang banyak terdapat di perairan tambak, terutama dalam air dengan kandungan bahan organik tinggi, oksigen rendah, dan senyawa beracun (amonia). Untuk mengendalikan Vibrio disarankan meminimalkan kandungan bahan organik hingga di bawah 80 ppm. Pada tambak yang menerapkan sedikit ganti air atau resirkulasi, penggunaan probiotik dapat menolong dalam mengendalikan populasi Vibrio sehingga aman bagi udang.
Inokulasi probiotik dan molase sebagai sumber karbon organik sanggup memacu perkembangan bakteri heterotrof. Dominasi bakteri yang menguntungkan ini menekan perkembangan bakteri merugikan seperti Vibrio. Bakteri nonpatogen dan Vibrio akan bersaing memperebutkan nutrisi dan tempat dalam media budidaya. Keberadaan bakteri heterotrof dipantau dengan menganalisis kandungan total bakteri secara mikrobiologis melalui media TSA. Sedangkan untuk memantau perkembangan populasi bakteri Vibrio dapat dilakukan dengan mengkultur dengan media agar-agar Thiosulfate Citrate Bile Salts Sucrose (TCBS).
Jika total bakteri lebih dari 100 ribu cfu per ml dan total Vibrio rendah, kurang dari 1.000 cfu per ml, secara mikrobiologi kondisi air cukup aman. Namun, bila total bakteri dan Vibrio hampir sama berarti kondisi air tidak aman dan perlu penanganan sebelum timbul kasus yang tidak diinginkan. Karena itu, pemantauan terhadap total bakteri dan vibrio dalam tambak perlu dilakukan.
Enny Purbani T., dari berbagai sumber