Belanda, negeri yang wilayahnya tidak sampai seluas Jawa Barat, pantas menyombongkan diri dengan bawangnya. Facts and figures 2007: Lahan bercocok-tanam bawangnya 19.000 ha, tapi produksinya mencapai 760 ribu ton setahun.
Negeri Kincir Angin ini menguasai captive market Uni Eropa sebesar 35%, dan daratan Inggris, 14%. Selebihnya diekspor keluar Eropa dengan Afrika sebagai pembeli terbesar (29%). Masih pula sanggup menyusup ke Asia, benua sarangnya bawang, sebanyak 4%. Bandingkan dengan Indonesia pada tahun yang sama (data dari Dr. Yul Bahar, Direktur Tanaman Sayuran dan Biofarmaka, Ditjen Hortikultura, Deptan): Luas lahannya 93.694 ha (hampir lima kali lipat Belanda), hasilnya 802 ribu ton.
Nyaris semua produksi bawang Belanda diekspor, hanya 10%—15% untuk dalam negeri. Negeri kecil ini pun jadi eksportir terbesar bawang dunia. Kok bisa? Belanda punya iklim yang cocok, tanah subur tanpa batu, memiliki tenaga trampil. Tapi kunci keberhasilannya terletak pada kualitas, kontrol, ketahanan pangan, efisiensi, dengan peralatan teknologi tinggi pada semua matarantai pasokannya, mulai dari panen sampai kilometer terakhir transportasinya.
Bawang Belanda dijamin tersedia kapan saja, sepanjang tahun. Industri bawangnya memegang tradisi “andalan-cepat-akurat”. Mayoritas petani, pemasok, tengkulak, pedagang bersertifikat European good agriculture practices (GAP). Secara umum standar Belanda memang lebih tinggi dari persyaratan Uni Eropa.
Setengah dari produksi bawang dunia yang 64 juta ton, berasal dari Asia. China dan India menjadi penghasil utamanya (19.793 juta ton dan 5,5 juta ton). Tapi berbeda dengan di negara-negara maju penghasil bawang (Spanyol, Belanda, Perancis, Amerika Serikat, Jepang), negara-negara Asia masih belum beranjak dari keluhan tentang hama penyakit, kelangkaan sarana pascapanen, jalan dari kebun ke pasar yang terputus-putus, ketersediaan air, kemudahan kredit, sewa lahan. Juga tentang petaninya yang belum begitu menerapkan teknologi. Karena itu produktivitas rendah, 11—18 ton per ha. Idealnya 20—30 ton per ha. Petani kita juga sering dipersalahkan karena terlalu boros menggunakan pestisida sehingga memakan ongkos lebih banyak.
Pengendalian hama penyakit hanya satu dari serangkaian masalah bawang di Indonesia. Namun masalah-masalah yang masih berkutat di hulu itu harus serempak kita tanggulangi agar selekasnya beranjak ke hilir dan menangani pascapanen, distribusi sampai industri barang jadi.
Seperti di Belanda, pemerintah, petani, dan pengusaha juga harus bisa bekerja dengan cepat dan akurat. Pasalnya, saingan-saingan berat kita berada di sebelah rumah, Filipina, Thailand dan Vietnam. Sumber ancaman serius juga tidak terlalu jauh: China, India, Korea, Jepang, dan Taiwan.
Berdasarkan Kepmentan No. 511/2006, ada 323 komoditas binaan pemerintah terdiri dari 80 jenis buah-buahan, 60 jenis sayuran, dan 117 jenis tanaman hias. Bawang merah adalah salah satu komoditas sayuran unggulan yang mendapat prioritas. Kita berharap 66 kawasan agribisnis hortikultura (KAH) yang dipersiapkan pemerintah bisa segera berperan membangun pusat pemasaran dan memberi pembelajaran pada petani untuk menghasilkan produk dengan kualitas terbaik. KAH untuk bawang adalah Cirebon-Majalengka-Brebes. Untuk kopi Dataran Tinggi Gayo di Aceh. Lampung Barat sebagai KAH sayur-mayur, Banten untuk durian dan sawo, Subang-Purwakarta untuk manggis.
Awal Mei, harga bawang merah di Pasar Induk Kramatjati turun, tapi di banyak daerah lainnya malah naik. Padahal kita sedang surplus bawang merah 100 ribu ton. Ahmad Dimyati, Dirjen Hortikultura, Deptan, mengakui, ini sebagai masalah klasik: biaya transportasi yang mahal menaikkan harga produk.
Para pengamat melihatnya sebagai masalah akut. Turunnya daya saing, masuknya komoditas dari luar secara haram atau halal. Harganya lebih murah dengan mutu lebih baik pula. Peraturan dan pencegahan fisik tidak akan mempan. Tindakan yang tepat adalah perbaikan kualitas, ketersediaan dengan matarantai suplai, mulai dari panen, pergudangan, sampai transportasi darat dan antarpulau. Didukung pula oleh adanya KAH dan industri. Untuk kualitas, mulailah dengan pengendalian hama dan penyakit yang terukur.
Daud Sinjal