Kita harus membangun infrastruktur pasar komoditas yang bisa menjadi panduan bagi para pemodal, pedagang, dan produsen, termasuk petani.
“Saya sangat sedih kalau kita mengatakan kita negara pertanian, tapi template-nya tidak berubah,” kata Sri Mulyani Indrawati. Bayangkan, sejak zaman dulu, kakek, orang tua, sampai anak-anak, kalau disuruh melukis, mereka menggambar dua gunung, kotak-kotak sawah, dan seorang pak tani. “Sampai sekarang kurikulum kita sama seperti itu. Coba, anak saya yang nggak pernah ke sawah, gambarnya kayak begitu,” kata Menteri Keuangan itu.
Pelaksana Tugas Menko Perekonomian itu menyampaikan paparannya “Membangun Keunggulan Kompetitif Agribisnis Indonesia” pada penglepasan Alumni Manajemen Bisnis IPB di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, 25 April 2009. Dengan template seperti itu, keluarannya berupa indoktrinasi. Kita tidak bisa naik dari pertanian berbasis kesejahteraan menjadi pertanian yang berbasis industri. “Saya anggap ini salah satu persoalan serius,” tegasnya.
Belanja Pertanian
Wanita kelahiran Bandar Lampung, 26 Agustus 1962, ini mengatakan, sebagai Menteri Keuangan (dilantik 7 Desember 2005), ia tidak pelit dengan belanja negara untuk pertanian (pertanian, perikanan, kelautan, kehutanan, termasuk subsidi dan dana alokasi khusus). “Kalau Anda lihat belanja negara untuk sektor pertanian melonjak sangat tinggi,” kata Mbak Ani, panggilan akrabnya. Pada tahun 2000, belanja negara untuk pertanian sekitar Rp5,17 triliun, tapi tahun ini melonjak menjadi Rp45,69 triliun.
Selain itu, menurut doktor ekonomi dari University of Illinois Urbana-Champaign, AS, ini, pertanian juga perlu dukungan peneliti benih. Sebab, benih itu merupakan cetak-biru agribisnis. Karena itu, penggemar warna hitam, putih, dan pastel ini, mengharapkan IPB banyak berinvestasi menghasilkan intelektual di bidang perbenihan. “Your strength adalah sains di bidang pertanian,” ujarnya. Ia memberikan contoh mengenai bagusnya penelitian padi.
Di dunia ini, menurut Sri Mulyani, ada dua bidang strategis. Pertama, keamanan pangan (food security), yang identik dengan agribisnis. Kedua, keamanan energi (energy security). Arab Saudi, negara kaya minyak (energi), misalnya, minat investasinya di bidang pangan sangat tinggi. “Ia akan investasi di mana saja, yang bisa men-secure food-nya,” kata anak binaan kesayangan Prof. Widjojo Nitisastro itu. Persoalannya, “Bagaimana menarik modal (itu) masuk ke (sini),” lanjutnya.
Infrastruktur Pasar
Tantangan lain, menurut mantan Direktur Eksekutif IMF itu, infrastruktur pasar kita sangat lemah. Misalnya, Indonesia dan Malaysia sebagai produsen utama sawit, justru harga sawitnya mengacu kepada harga di bursa komoditas di Rotterdam, Belanda. “You don’t have infrastructure market untuk meng-create market for commodity, yang kemudian menjadi guidance bagi para pemodal dan producer, termasuk petani,” katanya.
Kalau kita benci kepada pasar karena menganggap itu liberal atau neo-liberal, kata Sri Mulyani, bagaimana bisa menaklukkan pasar. “Wong pasar itu isinya orang-orang gila. Tiap hari memikirkan profit,” tukas mantan Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, itu. “Anda harus ber-organize sehingga mempunyai power untuk mendesain policy yang bagus,” katanya. “Pasar harus diregulasi secara baik. Kalau salah mengelola pasar, dia bisa backfire you,” tambahnya.
Karena itulah, untuk membangun keunggulan agribisnis, Sri Mulyani mengharapkan IPB bisa menghasilkan intelektual (misalnya peneliti benih), manajer (yang pada dasarnya menghamba kepada pasar), policy maker (pembuat kebijakan) dan legislator. Tentunya, bukan orang-orang yang pola pikirnya masih berpijak pada gambar dua gunung, kotak-kotak sawah, dan seorang pak tani.
Syatrya Utama