Dengan menghabiskan modal Rp50 juta per hektar, terung putih memberikan keuntungan kotor Rp103 juta lebih.
Itu pengalaman menyenangkan Abas, petani di Ambawang, Kab. Kubu Raya, Kalbar, yang menanam terung putih hibrida Kania F1. Sejak dua tahun silam, Ketua Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Kubu Raya ini beralih ke terung “bule” produksi PT East West Seed Indonesia, Purwakarta, Jabar. Di wilayahnya, komoditas yang diusahakannya itu laku dijual Rp2.000 per kg lebih tinggi ketimbang terung ungu maupun terung lainnya.
Pasar terung putih, menurut Abas, tidak hanya konsumen lokal tetapi juga menjangkau Malaysia, terutama Serawak dan Kuching. Peluang ini belum dapat dimanfaatkan karena produksi Abas dan rekan-rekannya baru 300—500 kg per hari. Sementara produksi petani di Kalbar juga masih sekitar 2—3 ton per hari. Tak heran bila harga cenderung stabil tinggi, Rp5.000 per kg. Harga bahkan melonjak hingga Rp11.000 per kg ketika kawasan ini terendam banjir pada November hingga Februari.
Cara Budidaya
Dalam membudidayakan terung putih, Abas menerapkan penanaman tunggal (single plant) atau satu lubang, satu batang dan ganda (double plant) atau satu lubang, dua batang. “Rata-rata produksi dari double plant 2 kg per tanaman, tetapi yang single plant bisa 2,3 kg per tanaman,” ungkap Abas.
Transmigran asal Semarang ini mengupayakan terung putih di lahan gambut miliknya yang seluas 2 ha. Bila menggunakan single plant berpopulasi 9.000 batang per ha, jarak tanamnya 50 cm x 100 cm. Panen dimulai pada 56—60 hari setelah tanam, selang 4 hari sekali. Dengan ongkos produksi hampir Rp50 juta per ha, ia dapat meraih laba kotor Rp103,5 juta per periode tanam yang selama 5—6 bulan (lihat tabel analisis usaha).
Budidaya terung putih memang menguntungkan, tapi harus mampu menangani serangan cendawan Phomopsis vexans. “Kalau kena, kerugiannya dapat mencapai 30%,” ungkap Abas. Serangan cendawan ini membuat batang menghitam dan layu daun. Tanaman akhirnya mati.
Untuk mencegahnya, Abas mengaplikasikan fungisida empat hari sekali dengan menggilir tiga kali fungisida kontak dan satu kali yang sistemik. “Tetapi kalau tampak ada serangan menjadi kontak-kontak-sistemik dan kalau serangan meningkat menjadi kontak-sistemik,” paparnya. Rata-rata serangan terjadi pada umur 4 bulan.
Selain Phomopsis, penyakit lainnya, layu bakteri. Gejalanya daun layu seperti habis tersiram air panas. Serangan dapat terjadi pada fase generatif maupun vegetatif. Dengan dukungan varietas yang tahan penyakit dan kontrol petani yang baik, semua penyakit tersebut dapat diatasi.
Brenda Andriana, Yan Suhendar
Analsis Usaha Terung Putih Varietas Kania F1 (Luas 3.000 m2, populasi 4.000 batang) I. Tenaga Kerja 1. Sanitasi dan pengolahan lahan = Rp 630.000 2. Angkut dan tebar pupuk/kapur = Rp 480.000 3. Persemaian dan tanam = Rp 650.000 4. Pemupukan = Rp 840.000 5. Aplikasi pestisida = Rp 380.000 6. Merumput dan Merompes = Rp 480.000 7. Panen = Rp1.600.000 Jumlah = Rp.5.060.000 II. Sarana Produksi 1. Bibit = Rp 160.000 2. Pupuk kandang = Rp1.800.000 3. Kapur = Rp. 400.000 4. Herbisida = Rp. 150.000 5. Fertiphos = Rp 225.000 6. KCl, Urea, NPK 16 : 16 :16 = Rp1.010.000 7. Pestisida = Rp3.655.000 8. Hidrokarat = Rp 120.000 Jumlah = Rp7.520.000 III. Total Modal =Rp12.580.000 Dana tak terduga 10% =Rp 1.258.000 Jumlah =Rp13.838.000 B. BEP, Volume, dan Harga Produksi 1. Produksi : 4.000 btg x 2 kg = 8.000 kg x Rp4.000 =Rp32.000.000 Keuntungan : Rp32.000.0000 – Rp13.838.000 =Rp18.162.000 2. BEP Vol. Produksi : Rp13.838.000 : 4.000 btg = 3459,5 kg 3. BEP Harga Produksi : Rp13.838.000 : 8.000 kg = Rp2.354,75/kg