Kamis, 14 Mei 2009

Vanname pun Betah di Air Tawar

Mang Engking tertantang memelihara udang Vanname di air tawar setelah mendengar China memproduksi hingga 500 ribu per tahun. Dan, ternyata ia sukses.

Motivasi Mang Engking mengembangkan Vanname air tawar, antara lain untuk menunjukkan petambak Indonesia juga punya kemampuan seperti petambak China maupun Vietnam yang sudah terlebih dahulu mengembangkan udang ini di air tawar.

Alasan berikutnya untuk memenuhi kebutuhan udang di restorannya yang terserak di sejumlah kota. Pria ini mengaku, baru 10% dari kebutuhan udang di restonya yang dipasok sendiri. Padahal ia tengah membangun dua resto baru di Surabaya dan Bali.

Dalam hitungannya, dengan sistem tradisional tanpa kincir, kolam seluas 1.000 m persegi produktivitas udang galah hanya 1—1,5 kuintal, sedangkan Vanname dapat menghasilkan 3—4 kuintal. Bahkan Engking telah menyiapkan menu baru dari Vanname yang akan segera ditawarkan pada pelanggan restonya. “Resepnya sudah siap, sambal dan sausnya juga sudah siap,” ungkapnya kepada AGRINA.

Pentingnya Adaptasi

Kolam milik pria bernama lengkap Engking Sodikin ini berjarak 60 km dari garis pantai Samudera Hindia di Desa Sendangrejo, Minggir, Sleman, DIY. Kolam tersebut terletak di tengah persawahan dengan sumber air dari Selokan Mataram Sungai Progo. “Di sini kadar garamnya benar-benar nol. Kalau di Situbondo ‘kan dekat pantai sehingga salinitasnya masih 2—5 ppm,” ujarnya.

Untuk mencapai sukses panen Vanname di kolam air tawar, Engking harus bereksperimen sendiri karena teknis budidayanya belum lagi sampai ke telinganya. Hasilnya, pada umur pemeliharaan 50 hari, 240 ribu ekor benur yang ditebar di kolam bersalinitas nol sudah memproduksi sekitar satu ton Vanname. Ia yakin, budidaya udang bernama ilmiah Litopenaeus vannamei di Indonesia bisa dilakukan di air tawar.

Kunci keberhasilan budidaya Vanname tersebut adalah adaptasi benur. Pria asli Tasikmalaya ini mengambil air laut murni untuk mengadaptasikan benur bebas patogen tertentu (SPF) yang ia peroleh dari PT Windu Sagara Hatchery di Anyer, Banten. Tujuannya, untuk menghindari dampak perbedaan suhu, pH, dan salinitas yang ekstrem antara air di hatchery yang  mencapai 30 ppm dengan air di kolam pemeliharaan.

Tempat adaptasi benur berupa kolam terpal yang bagian bawahnya dialasi jerami atau sekam agar suhunya stabil. Sebanyak 240 ribu ekor benur dituang ke dalam 2 m3 air laut selama seminggu. “Intinya, kadar garam air turun menjadi nol ppm,” ujar Ade Sapji, Manajer Usaha Gubug Mang Engking.

Caranya, setiap hari kolam adaptasi dikucuri air kolam pembesaran dan pada saat yang sama jumlah air lautnya juga dikurangi. “Dengan kucuran itu, setiap hari terjadi pertambahan tinggi air kolam adaptasi sekitar lima cm,” papar Sapji.

Dengan cara itu, masih menurut Sapji, kelangsungan hidup benur bisa mencapai 90%, jauh lebih tinggi dibandingkan benur yang dipelihara di air payau yang biasanya hanya 70%.  Sayangnya, menurut Sapji, pada ujicoba pertama Maret lalu,  kolam pembesaran belum siap. Akibatnya, benur harus dipelihara di kolam yang relatif sempit dengan kepadatan 200 ekor per m3. Padahal idealnya kepadatan hanya 30— 40 ekor per m3 karena sistem pemeliharaan yang dilakukan adalah tradisional tanpa kincir.

Hal itu menyebabkan pertumbuhan udang lambat lantaran kekurangan oksigen. Pada umur pemeliharaan 70 hari, udang baru mencapai size 170 (170 ekor per kg), padahal normalnya sudah mencapai size 90—100. “Mereka ke atas permukaan air sehingga kecipaknya seperti air hujan,” beber Mang Engking. Dalam keadaan yang demikian pun, ia masih dapat memanen satu ton benih gelondongan pada umur 50 hari. Benih ini baru kemudian ditebar di kolam pembesaran dengan kepadatan 30—40 ekor per m3.

Garam dan Zeolit

Lalu bagaimana pengelolaan kolam sebelum tebar? Bagaimana pun, habitat asli Vanname adalah air bersalinitas 25—30 ppm sehingga pemberian garam perlu diperhatikan. Setelah kolam dikeringkan, Engking menabur 600—700 kg garam tanpa yodium per 1.000 m2. Garam dibiarkan beberapa hari agar mencair dan menyatu dengan lumpur. “Jadi, yang asin itu dasar kolamnya, bukan airnya,” tambah pria sederhana ini.

Menurut F. Widiyanto, Manajer Area Yogyakarta PT Suri Tani Pemuka (STP),  produsen pakan udang, garam diperlukan untuk mencukupi elemen-elemen mikro yang dibutuhkan Vanname. Namun, karena dosisnya sangat kecil, maka tidak mengubah air tawar menjadi asin.

Selain itu, Mang Engking juga menggunakan zeolit yang mengandung kalsium dan silikat untuk pertumbuhan cangkang udang sebanyak 10 kg per minggu per 1.000 m3. Sarana produksi lainnya, probiotik untuk mengurai amonia dan membersihkan kolam.

Selanjutnya ia mengucurkan air dari pipa berdiameter dua inchi selama 24 jam untuk menambah kandungan oksigen di dalam air. Ia sengaja mengupayakan Vanname secara tradisional agar kolam di sekitar gubug makannya tidak cepat rusak. “Kalau intensif, maka empat tahun saja kolam sudah rusak,” tukasnya memberi alasan

Faiz Faza (Yogyakarta)

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain