Senin, 27 April 2009

Mencemburui Pembagian Dana Gernas

Bibit kakao SE lebih unggul ketimbang bibit asal benih dari hasil persilangan tanaman.

Petani kakao di Kasimbar, Kab. Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, sangat takut terhadap hama penggerek buah kakao (PBK) dan penyakit vascular streak dieback (VSD) alias penyakit pembuluh kayu. Maklumlah, gara-gara hama dan penyakit utama kakao ini, produktivitas tanaman mereka turun menjadi 0,4 ton per ha per tahun. Padahal, normalnya bisa 1,1 ton.

“Apakah bibit kakao SE (somatik embriogenesis) ini tahan PBK dan VSD?,” tanya Umar H. Amir, petani kakao di Kasimbar, saat kunjungan kerja Menteri Pertanian Anton Apriyantono, Minggu (12/4). “Dari hasil penelitian, bibit ini bebas penyakit VSD dan hama penggerek buah,” jawab Achmad Mangga Barani, Dirjen Perkebunan, Deptan.

Meski demikian, imbuh Mangga Barani, karena pelaksanaan Gerakan Nasional (Gernas) Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao tidak bisa serempak, petani tetap memerlukan pestisida. Dengan begitu, “Tanaman ini akan terjaga dengan baik,” jelasnya di hadapan petani.

Dengan total anggaran Rp13,7 triliun (anggaran pemerintah pusat, daerah, dan swasta, termasuk petani), Gernas akan dilakukan bertahap 2009– 2011 di sembilan provinsi dan 40 kabupaten, termasuk di Parigi Moutong. Gernas ini mencakup peremajaan, rehabilitasi (dengan sambung samping), dan intensifikasi kebun seluas 450 ribu ha.

SE Lebih Unggul

Dalam hal peremajaan tanaman, antara lain menggunakan bibit kakao SE, yang berasal dari sel somatik bunga kakao yang dibiakkan dengan kultur jaringan. Bekerjasama dengan Puslitbang Nestle di Tours, Perancis, setiap tahun Pusat Penelitian dan Pengembangan Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, Jatim, menghasilkan bibit kakao SE sekitar 20 juta. Jumlah ini dapat memenuhi kebutuhan peremajaan 18.200 ha.

Bibit kakao SE ini lebih unggul ketimbang kakao asal benih (hasil persilangan tanaman). Panen pertama, setelah tiga tahun tanam, produktivitasnya mencapai 0,5 ton biji kakao kering per ha per tahun atau lebih tinggi 500% ketimbang kakao asal benih. Pada umur empat tahun, produktivitasnya naik menjadi sekitar 1,1 ton, dan tahun berikutnya meningkat sampai 1,68 ton. Dari hasil uji coba, potensi produktivitasnya bisa mencapai di atas 2 ton per ha per tahun.

Namun, potensi produktivitas tersebut tidak ada artinya tanpa pemupukan, penggunaan pestisida, dan sebagainya. Tidak heran kalau di lokasi temu wicara Mentan dengan petani di Kasimbar terbentang spanduk raksasa, “Syngenta mendukung Gernas.” Di spanduk itu tertulis: Gramoxone, mengendalikan gulma secara efektif dan aman; Matador, ahlinya hama PBK; Amistartop, antipenyakit VSD; dan Ridomil Gold, solusi busuk buah kakao.

Peran swasta memang diperlukan untuk mendukung Gernas Kakao. Dari total anggaran pemerintah pusat bagi Gernas Kakao yang Rp2,5 triliun, tahun ini dikucurkan sebanyak Rp1 triliun. Parigi Moutong dengan area 65.000 ha yang melibatkan 37.000 KK, hanya kebagian Rp4,8 miliar atau setara untuk 1.400 ha. “Saya cemburu dengan daerah lain, kami cuma dapat Rp4,8 miliar. Mudah-mudahan tahun depan, bisa 10 kali lipat,” ucap Drs. H. Longky Djanggola, M.Si., Bupati Parigi Moutong.

Mentan Anton memahami unek-unek Pak Bupati. Semestinya, sekitar 80% tanaman kakao di Parigi Moutong ini harus diremajakan, direhabilitasi, dan diintensifikasi.  “Kita evaluasi kembali. Tahun 2010, alokasinya kita perbaiki. Daerah yang cukup luas seperti Parigi Moutong ini, kita lihat tanaman kakaonya sudah rusak betul. Parah,” janji Anton.

Keadilan dalam mengalokasikan anggaran pemerintah (pusat) untuk Gernas Kakao sangat penting. Pasalnya, sekitar 90% produksi kakao merupakan buah karya petani, yang jumlahnya sekitar satu juta orang, termasuk para petani kakao di Parigi Moutong.

Syatrya Utama

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain