Senin, 27 April 2009

Berkelit dari Serangan Wereng

Serangan hama wereng bisa terjadi sejak di pesemaian. Jika tidak diantisipasi atau dikendalikan, serangannya dapat menimbulkan kerusakan sampai gagal panen (puso)

Sejak ditemukan menyerang padi di sawah daerah Dramaga, Bogor pada 1930, keberadaan hama wereng cokelat hingga kini terus diwaspadai. “Wereng cokelat merupakan hama laten yang hingga sekarang tiada henti-hentinya menyerang tanam padi,” kata Prof. Dr. H. Baehaki, SE, peneliti hama tanaman di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi), Subang, Jabar. Selain wereng cokelat (Nilaparvata lugens), ada juga wereng hijau (Nephotettix virescens) dan wereng punggung putih (Sogatella furcifera).

Pendukung Serangan

Menurut Baehaki, ada empat pendukung terjadinya serangan wereng pada padi. Pertama, varietas padi yang ditanam bukan dari varietas tahan wereng. Kedua, perlakuan agronomi yang tidak tepat, seperti pemakaian pupuk berlebihan. Penelitiannya membuktikan, pemberian pupuk berlebih bisa menjadi penyebab semakin berkembangnya wereng.

Ketiga, kelembapan yang tinggi. “Wereng ini kerap menyerang pada musim hujan dan saat terjadi La Nina, yaitu hujan berlebihan melewati musimnya. Serangan jarang pada musim kemarau, kecuali jika terjadi banyak hujan di musim kemarau,” jelas Baehaki. Ia menunjukkan kejadian pada 1998 saat terjadi La Nina, serangan wereng meluluhlantakkan 65.000 ha sawah di jalur pantai utara Pulau Jawa. Dan keempat, aplikasi insektisida yang berlebihan, tidak efektif, dan tidak sesuai dosis.

Saat ini, daerah yang masih sering terserang wereng adalah Kudus, Demak, Pati, dan Tuban. “Jalur ini seolah menjadi lingkaran setan karena sepanjang musim selalu ditemukan meskipun dalam spot-spot kecil,” terangnya.

Sigap dalam Pengendalian

Menurut pengalaman H. Sholehudin, petani sekaligus pengusaha penggilingan padi di Kp. Rawasari, Pamanukan, Subang, Jabar, terjadinya serangan wereng yang hebat akibat kekurangsigapan petani dalam memantau lahan garapannya. Padahal pada padi fase vegetatif (10—20 hari setelah tanam/HST) wereng mulai berbiak di rumpun padi. “Biasanya pada fase itu sudah terlihat sekitar 10—15 ekor wereng per rumpun, tapi harus segera dikendalikan,” papar Sholehudin. Namun seringkali petani menganggap itu masih belum perlu dikendalikan.

Hal tersebut dibenarkan Baehaki, perkembangan wereng sangat cepat, bisa 2—4 kali lipat hanya dalam waktu seminggu. “Perkembangan wereng sangat dahsyat jika tidak dikendalikan pada masa itu,” tegasnya.

Pengamatan Sholehudin, tindakan yang biasa dilakukan petani pada fase vegetatif ini adalah penyemprotan pengendali hama dari golongan panas atau kontak.  “Petani inginnya begitu disemprot, wereng mati. Padahal belum tentu semua wereng mati dan menjadi bahaya yang tak terlihat karena masih bisa berkembang biak,” imbuhnya.

Sebaiknya, menurut Sholehudin, pengendalian menggunakan insektisida dari golongan dingin yang bekerja secara sistemik. “Yang paling bagus yang telah saya coba sangat efektif, yaitu insektisida berbahan aktif imidakloprid, seperti Confidor Ultra,” jelas penjual beras merek Pariamas ini.

Keunggulan Confidor Ultra tersebut, tambah dia, terbukti efektif karena pada penyemprotan awal nyaris tak telihat lagi werengnya. Namun, ia tetap waspada sehingga kembali menyemprot padinya pada 50 HST dan 70 HST. Sholehudin membuktikannya secara sederhana dengan mengambil secara acak rumpun padi dan mengibaskannya. Hasilnya ternyata tidak ada satu pun wereng yang jatuh. Hal ini berbeda dengan saat ia menggunakan insektisida sejenis berbahan aktif lain.

Tri Mardi Rasa

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain