Melalui Program Sarjana Membangun Desa (SMD), pemerintah berupaya menjadikan sarjana peternakan atau kedokteran hewan sebagai motor transfer teknologi budidaya.
Tak hanya itu, sarjana-sarjana muda usia tersebut juga diharapkan dapat membangun jiwa wirausaha para peternak melalui pemberdayaan kelompok. Mereka dibekali modal ratusan juta rupiah.
Lihat saja Muhammad Azis, S.Pt, salah satu peserta program SMD pertama di Provinsi DI Yogyakarta. Ketika bergabung dengan SMD pada 2007, ia mendapatkan alokasi dana Rp316,8 juta. Programnya dikerjakan bersama Kelompok Ternak Mandiri di Kerto Kidul, Pleret, Bantul, Yogyakarta.
“Alokasi penggunaan dana tersebut sudah ada panduannya dari pemerintah. Yaitu, untuk pembelian sapi induk (pembibitan) sebanyak 12 ekor dan bakalan penggemukan sebanyak 34 ekor. Nilainya sebanyak Rp84 juta dan Rp204 juta,” jelas Azis menjawab AGRINA.
Sisanya digunakan untuk insentif perkandangan, obat, peralatan inseminasi buatan (IB), penanganan limbah, pengadaan hijauan makanan ternak (HMT), administrasi dan pengembangan kelompok sebesar Rp18,8 juta. “Model pembagian keuntungan antara SMD dan peternak di KT Mandiri adalah 40 : 60 dari hasil jual sapi setelah dikurangi biaya pinjaman pembelian sapi,” lanjutnya.
Jadi, dalam pelaksanaannya, Azis memberikan pinjaman uang kepada peternak untuk bersama-sama membeli sapi. Setelah sapi dijual, dana tersebut kemudian dikembalikan ke kelompok agar dapat digulirkan.
Belum Ada Panduan
Pelaksanaan di lapangan tak mulus dari sandungan. Bekal yang diberikan pemerintah ternyata tak cukup untuk melakukan penggemukan sekaligus membibitkan sapi. Hal ini tak lepas dari tingginya biaya penggemukan. “Biaya pakan penggemukan untuk mengejar ADG (pertambahan bobot badan harian) 1,5 kg berkisar Rp22.000 per ekor per hari dengan proporsi karkas 52%—53%,” jelas Azis.
Karena itu hampir semua anggota kelompok yang berjumlah 20 orang hanya memilih usaha perbibitan. Saat ini hanya Azis yang mengusahakan usaha penggemukan. Sekarang jumlah ternaknya telah mencapai 15 ekor dan dijual rata-rata setiap empat bulan. Biaya pakan dicari dengan cara menggandeng investor melalui sistem bagi hasil keuntungan 60% menjadi bagian Azis, yang 40% untuk investor.
Berdasarkan pengalaman alumnus Fapet UGM ini, ternyata tidak gampang menanamkan jiwa wirausaha kepada peternak. Padahal dirinya telah berhasil menjadi contoh bahwa usaha penggemukan cukup menguntungkan. Peternak berdalih, harga pakan malah dan sifat usaha mereka hanya sambilan.
Namun demikian, tujuan transfer teknologi dinilainya berhasil. Peternak mulai meniru langkahnya merebus pakan agar produktivitas sapi meningkat. Ransum seekor sapi per hari yang diberikannya adalah 2 kg kleci (kulit kedelai), 5 kg ampas tahu, 5 kg dedak, 2,5 kg singkong segar, 2 kg konsentrat, 1 kg ampas tahu, 2 kg ampas bir dan 10 kg hijauan. Harga kleci Rp2.250, ampas tahu Rp250, dedak Rp800, singkong Rp900, konsentrat Rp1.250, ampas tahu Rp1.700, ampas bir Rp850, dan hijauan Rp300, masing-masing per kg.
Azis menjual sapinya langsung kepada pemotong sehingga hitungannya dalam bentuk karkas. Ini lebih menguntungkan. Ilustrasinya, dengan harga Rp23.500 per kg hidup, maka harga sapi berbobot 750 kg adalah Rp17,625 juta. Sedangkan jika dijual dalam bentuk karkas, harganya Rp46.000 per kg. Rata-rata proporsi karkas sapi mencapai 53% sehingga didapatkan karkas sebanyak 397,5 kg atau senilai Rp18,285 juta per ekor.
Menurut kalkulasi Azis, usaha penggemukan mendatangkan laba senilai 0,5—-1,0 kg bobot hidup per hari. Kendati begitu, masih banyak peternak yang belum mau mengikuti jejaknya. Karena itu, pihaknya menghimbau agar program SMD disempurnakan dengan memberikan subsidi pakan bagi anggota kelompok.
Faiz Faza (Yogyakarta)