Kabar tentang pemunduran tenggat swasembada daging sapi dari 2010 ke 2014 tenggelam oleh pernyataan bertalu-talu dari kalangan organisasi peternak, ahli veteriner, dan pelaku industri, yang menentang keras rencana impor daging sapi dari Brasil. Juga menjadi ironis, importasi daging sapi itu ditentang sengit, sementara program swasembada daging yang jadi salah satu pertaruhan dalam program revitalisasi pertanian itu ditanggapi skeptis sejumlah pelaku bisnis.
Padahal Mentan Anton Apriyantono begitu optimis “Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) 2010” bisa dicapai dengan memperbanyak usaha pembibitan sapi pedaging di 18 provinsi sentra. Menghidupkan sinergi peternakan rakyat dan peternakan swasta. Memudahkan kredit dan subsidi, serta perluasan lahan penggembalaan (termasuk integrasi dengan kebun sawit).
Deptan sudah melangkah dengan dana APBN Rp500 miliar untuk mengoptimalkan akseptor inseminasi buatan, pengendalian pemotongan betina produktif, perbaikan mutu bibit dan penambahan indukan bunting, penanganan gangguan reproduksi dan kesehatan hewan, pengembangan pakan lokal, intensifikasi kawin alam, sampai pengembangan SDM.
Presiden juga sudah membagikan masing-masing 4.000 sapi betina produktif ke-18 provinsi sentra sebagai langkah awal bagi pengadaan betina produktif sampai satu juta ekor. Pada 2009 ini dialokasikan dana Rp145 miliar untuk subsidi bunga Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) skala kecil dengan sasaran 200 ribu ekor sapi bibit. Belum lagi program sarjana masuk desa yang masing-masing dimodali Rp349 juta untuk mengembangkan peternakan secara terpadu.
Pencapaian P2SDS harus dilambatkan lima tahun lagi. Defisit menahun daging sapi untuk sementara tetap dipenuhi dari luar. Namun di tengah-tengah “ganti persneling” ini, muncul rencana impor daging dari Brasil sebagai alternatif dari Australia dan Selandia Baru. Ada kepentingan yang terganggu dengan perubahan aturan dari “country base” menjadi “zone base”.
Ada kecemasan berjangkitnya penyakit mulut dan kuku (PMK). Ada pebisnis baru mengincar rente yang bagus dari importasi daging, sementara kelompok pemain lama yang asyik dengan daging sapi Australia dan Selandia Baru menjadi tersaingi. Pedagang makin enggan mengusahakan sapi lokal karena yang impor lebih cepat, mudah, dan lebih murah. Peternakan lokal rakyat menjadi demotivasi karena pangsanya direbut.
Tapi ada juga yang bisa terbantu. Daging impor membantu menstabilkan harga sehingga terjangkau konsumen demi asupan protein dan memenuhi empat sehat-lima sempurna. Dengan impor itu, bisa mengurangi “main potong” sapi betina produktif sehingga memberi kesempatan perkembangbiakan sapi lokal. Adi Sasono, Ketua Umum Dekopin, mengatakan, kran impor sapi juga bisa membantu pengembangan industri kulit, pengembangan bisnis koperasi, membuka jalan bagi perbaikan tataniaga daging yang selama ini dipegang secara oligopoli.
Bagaimanapun, ancaman penularan penyakit janganlah disepelekan. Jangan kepentingan jangka pendek merusak kepentingan jangka panjang mempertahankan status Indonesia yang bebas dari penyakit sapi menular, kata Dr. Soehadji, Dirjen Peternakan 1988—1996. Namun Dr. Tri Satya Putri Naipospos, Regional Consultant untuk OIE Asia Tenggara mengatakan, Indonesia dapat memberlakukan persyaratan impor yang ketat untuk zona bebas PMK (tanpa atau dengan vaksinasi) dibarengi verifikasi dan evaluasi terhadap semua tindakan pengurangan risiko yang diperlukan di negara pengekspor (Brasil) sebelum mengeluarkan otorisasi impor. Begitu pun, mencegah risiko di dalam negeri tetap penting dan harus mendapatkan perhatian utama.
Mantan Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan itu menilai keputusan pemerintah Indonesia mengubah kebijakan importasi dari “country base” menjadi “zone base” sebagai langkah maju, sudah tepat dan sesuai kaidah perdagangan internasional yang didasarkan kepada prinsip-prinsip ilmiah yang mengedepankan analisa risiko, surveilans, dan evaluasi sistem kesehatan hewan nasional.
Namun, hingar-bingar pro-kontra impor daging sapi dan segala concern di belakangnya itu janganlah memalingkan kita dari fokus utama swasembada daging. Sabuah sasaran yang membutuhkan terobosan revolusioner atau gerakan nasional.
Daud Sinjal