Produksi kakao Indonesia dalam tiga tahun terakhir ambruk lantaran produktivitas kebun sangat menurun, hanya 0,5—0,7 ton per hektar (ha). Bahkan, di beberapa tempat tinggal 0,3—0,5 ton per ha. Menurut data Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), produksi kakao nasional pada periode 2006—2008, masing-masing sekitar 900 ribu ton, 532 ribu ton, dan 490 ribu ton. Penyebabnya paling tidak ada empat, yakni penggunaan bibit dari biji sehingga produksi bervariasi, umur tanaman sudah terlalu tua, mencapai 15—20 tahun, serangan hama penggerek buah kakao (PBK), dan penyakit vascular streak dieback (VSD) atau penyakit pembuluh kayu.
Untuk mengatasi hal itu, pemerintah meluncurkan program gerakan nasional peningkatan produksi dan mutu kakao nasional 2009—2011 yang direncanakan menelan anggaran sebanyak Rp1 triliun. Program ini menjangkau 9 provinsi penghasil kakao, yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusatenggara Timur, Bali, Maluku, Papua, dan Papua Barat Dalam program ini, pemerintah akan meremajakan kebun tua 20.000 ha, merehabilitasi 60.000 ha, dan melakukan intensifikasi 65.000 ha.
Sambung Samping
Salah satu cara untuk merehabilitasi tanaman tua adalah teknik sambung samping., yaitu menyambung salah satu pucuk (entres) ke pohon tua. Entres ini dipilih dari klon yang produktivitasnya tinggi dan toleran atau tahan terhadap PBK.
Cara tersebut paling tidak dipilih Syahruddin, petani kakao di Kecamatam Patampuna, Kab. Pinrang, Sulsel. Alasannya, proses tanaman lebih cepat berproduksi kembali. Dalam waktu satu hingga dua tahun tanaman sudah berbuah. Bandingkan kalau ia harus meremajakan, dibutuhkan waktu sampai tiga tahun sampai kakaonya berproduksi kembali.
Biaya sambung samping juga cukup murah. Syahruddin yang kini telah merehabilitasi 400 batang kakaonya memerlukan biaya Rp1.500 per entres. Biasanya petani menyambung dua atau tiga entres per batang. Kecuali bila petani tidak mampu menyambung sendiri, ia perlu membayar biaya penyambungan Rp2.500—Rp3.000 per entres.
Berbeda dengan peremajaan yang mengganti tanaman tua dengan bibit baru, petani perlu mendapat bantuan berupa benih tanaman semusim agar mendapat biaya hidup selama kakao belum berproduksi. Pada sambung samping, sewaktu batang atas hasil sambung baru belum berproduksi, hasil buah dari batang bawah tetap dapat dipanen.
Batang bawah juga berfungsi sebagai penaung sementara bagi batang atas yang sedang tumbuh. Penyambungan menggunakan klon unggul juga berarti memperbaiki klon-klon tanaman yang sudah tidak dikehendaki.
Kendala
Pelaksanaan rehabilitasi di lapangan saat ini menghadapi dua kendala. Jumlah entres dari klon unggul yang terbatas. Meski dinas perkebunan setempat menyatakan pasokan entres ini berlimpah, di Pinrang khususnya, entres yang dianjurkan masih kekurangan. Menurut Sri Sukamto dari Puslit Kopi dan kako Jember, klon unggul yang digunakan untuk program gernas kakao adalah Sulawesi I, Sulawesi II, ICCRI 03, ICCRI 04, dan SCA 6.
Selain itu, pengetahuan dan ketrampilan petani untuk melakukan sambung samping juga masih rendah, terutama cara pengambilan entres, pemilihan batang pokok yang akan disambung dan teknik penyambungan itu sendiri.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, banyak kalangan lembaga swadaya masyarakat dan penyuluh swakarsa dari perusahaan sarana produksi aktif terjun ke tengah petani. Mereka membuat semacam sekolah lapang bagi petani.
Peni SP, Darwis (Kontributor Makassar)