Senin, 13 April 2009

FH di Lahan Basah ? Bisa

Keluar dari pakem yang umumnya memelihara sapi di dataran menengah hingga tinggi, Djohan Riduan Hasan mengembangkan sapi penghasil susu ini di tanah berawa (wetland) dekat pesisir pantai.

Di Pusat Perbaikan Lahan Kritis seluas 300 ha yang terletak di pinggiran kota Pangkalpinang,  Djohan mengembangkan sejumlah komoditas pertanian, peternakan, dan perikanan. Salah satunya adalah sapi perah. Pada 2007, ia mendatangkan sapi perah jenis Frisian Holstein (FH) dari Lembang, Bandung, sebanyak 62 ekor. Kini jumlahnya bertambah menjadi 91 ekor, 25 ekor di antaranya laktasi yang menghasilkan susu segar rata-rata 250 liter per hari atau 10 liter per ekor.

Produktivitas itu kalah banyak dibandingkan sapi perah di dataran tinggi yang bisa mencapai 20 liter per hari. Namun, harga susu segar di pulau penghasil timah ini cukup tinggi, Rp10.000 per liter, lebih mahal ketimbang di Pulau Jawa yang paling banter Rp3.800 per liter. Jadi, meskipun produksi relatif minim, pendapatan peternak Bangka lebih tinggi.

Hasilkan Susu dan Pupuk

Lebih dari itu, buat Djohan, sapi bukan saja sebagai penghasil susu, tapi juga produsen pupuk untuk merehabilitasi lahan-lahan kritis di wilayahnya. Sebagai penggagas dan motivator Bangka Goes Green (BBG), sebuah lembaga yang peduli lingkungan hidup, ia berkepentingan terhadap pengadaan pupuk untuk program penghijauannya. Selain itu, pupuk kandang tersebut juga memenuhi kebutuhan berbagai jenis tanaman di Bangka Botanical Garden miliknya, antara lain rumput gajah untuk pakan sapi, buah naga, dan aneka jenis tanaman hias.

“Di Bangka nggak ada pabrik pupuk, makanya harganya mahal. NPK saja sudah Rp11.000 per kg. Belum lagi jika ombak sedang tak bersahabat, kiriman pupuk pasti datang terlambat,” ujar Djohan. Itulah sebabnya ia menerapkan pola pertanian terintegrasi dalam mengelola BBG. Menurut Komisaris PT Dona Kembara Jaya ini, dari 216 ekor sapi miliknya (91 di antaranya sapi perah) menghasilkan kurang lebih 3 ton pupuk kandang.

Di samping konsentrat, sapi-sapi perah tersebut diberi pakan rumput gajah serta ubi kayu dan ubi rambat yang ditanam sendiri. Sejumlah petani kini sudah menjalin kemitraan dalam pemeliharaan sapi di lahan basah sebanyak 60 ekor. “Kami menjual sapi kepada mereka disertai petunjuk teknis cara memelihara dan mengawinkannya,” jelas ayah satu anak ini.  Masih menurut Djohan, jika petani mampu mengelola secara baik, dengan dua ekor sapi saja bisa diandalkan untuk menghasilkan uang dari susu dan pupuk.

Butuh Pengabutan

Pemeliharaan sapi perah di luar habitatnya ternyata tak memerlukan banyak sentuhan khusus. Satu-satunya perlakuan yang berbeda adalah penurunan suhu udara di kandang pada pukul 11.00—14.00 dengan cara pengabutan (fogging).  Di luar itu, rutinitas berjalan seperti biasanya, antara lain sanitasi kandang, pemerahan, dan pemberian pakan.

Menurut Jamaludin, penanggungjawab sapi di BGG, pembersihan kandang dimulai pukul 05.00 yang dilanjutkan dengan pemerahan pukul 05.30—08.00. Kegiatan selanjutnya, pemberian pakan berupa dedak yang dicampur konsentrat dan potongan campuran ubi jalar dan ubi kayu masing-masing 3 kg per ekor.

Dua jam kemudian, sapi dijatah rumput gajah sebanyak 15—20 kg per ekor dan kembali diberi konsentrat plus ubi pada pukul 13.00. Sebelum diperah saat sore hari, sanitasi kandang kembali dilakukan.

Sejauh pengalaman Jamaludin yang merawat sapi-sapi sejak didatangkan, tak ada kendala yang berarti dalam pemeliharaan di daerah berhawa lumayan panas ini. Hal itu karena kandang telah dirancang sedemikian rupa sehingga kondisi di sekitar kandang tidak terlalu terpapar teriknya matahari.

Enny Purbani T.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain