Penggunaan benur Vanname lokal produksi Balai Budiyaya Air Payau Situbondo dapat memangkas ongkos produksi hingga Rp1.500 per kg.
Benur, salah satu sarana produksi memegang peran cukup penting karena sangat menentukan keberhasilan budidaya melalui sifat sifat unggulnya, seperti tahan penyakit dan kecepatan pertumbuhannya. Dari sisi ekonomis, benur berkontribusi sekitar 10% dari biaya produksi.
Post Larva (PL) 11 produksi Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo dijual dengan harga Rp15 per ekor, lebih murah dari benur sejenis yang menggunakan induk impor yang dibanderol Rp35 per ekor. Dengan selisih Rp15 per ekor, petambak yang menebar 200 ribu ekor lebih irit biaya produksi sebesar Rp30 juta. Jika BBAP Situbondo mampu mempertahankan kualitas dan ketersediaannya, benur lokal ini siap merebut pasar yang kebutuhannya tak kurang dari 45 miliar ekor atau senilai Rp1 triliun dengan asumsi produksi udang tahun ini sebesar 450 ribu ton.
Mutu Tak Kalah
Menurut Made L. Nurjana, Dirjen Perikanan Budidaya, pemuliaan udang Vanname telah berlangsung sejak 2005 dan berhasil dikembangkan mulai 2008. Sayangnya, hal ini belum direspon dengan baik oleh petambak udang intensif. “Kita mengerti petambak sangat berhati-hati dalam memilih benur karena biaya produksi budidaya udang yang besar,” ungkap Made. Selama ini mereka masih mengandalkan benur F1 produksi salah satu hatchery besar yang induknya didatangkan langsung dari Amerika Serikat.
Benur hasil pemuliaan BBAT Situbondo tersebut telah diujicoba di Lamongan, Gresik, Malang, Banyuwangi, dan Bali, juga tambak percobaan milik sendiri. Dengan padat tebar 200—250 ekor per m2 dan waktu pemeliharaan 110 hari, bobot udang rata-rata mencapai 12—12,5 gram per ekor, sedangkan konversi pakannya berkisar 1,3—1,5. Hal itu, menurut Made, menunjukkan kualitas benur produksi itu tak kalah dengan benur eks impor.
Seiring makin banyaknya tambak yang sukses menggunakan benur produksi BBAP ini, tingkat kepercayaan petambak terhadap benur lokal unggul ini semakin meningkat. Sejak disosialisasikan pertengahan 2008, menurut Made, kini setidaknya 20% pembudidaya udang intensif memanfaatkan benur yang induknya berasal dari Florida dan Hawaii ini. Induk-induk impor tersebut telah mengalami perbaikan genetik melalui domestikasi, seleksi, kawin silang (crossbreeding), dan silang balik (backcross).
Untuk mencukupi kebutuhan hatchery yang akan memproduksi benur Vanname, masih menurut Made, pihaknya tengah membangun broodstock center di Karangasem, Bali dengan kapasitas produksi sekitar 300 ribu induk per tahun. Dengan jumlah itu, broodstock yang diklaim Made sebagai yang terbaik di Asia ini mampu menghasilkan 30 miliar benur atau lebih dari separuh kebutuhan benur nasional. Broodstock center ini dalam waktu dekat mulai beroperasi, sedangkan kebutuhan induk untuk sementara masih dipasok BBAP Situbondo.
Terapkan CPIB
Slamet Subyakto, Kepala BBAP Situbondo, mengungkap, kapasitas produksi induk di instansinya sekarang berkisar 10.000—15.000 ekor per bulan dan akan ditingkatkan menjadi 60.000 ekor per bulan tahun ini. Dengan masih terbatasnya produksi, ia menyarankan para pengusaha hatchery yang ingin menggunakan induk produksi BBAP Situbondo mendaftar terlebih dahulu. “Pesannya jangan mendadak, kami layani kapan saja,” ujarnya.
Masih menurut Slamet, induk produksi lokal tersebut sudah banyak digunakan hatchery-hatchery di Jatim. “Jumlahnya mungkin sudah mencapai 80%,” bebernya. Untuk dapat menghasilkan benur yang diinginkan, hatchery harus menerapkan Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB), menguasai teknik pemijahan udang dan tidak mencampur induk yang berasal dari BBAP Situbondo dengan yang lain untuk menghindari kontaminasi.
Enny Purbani T.