Berkat inovasi teknologi produksi bioetanol dari rumput laut, persaingan penggunaan lahan untuk pangan dan bahan bakar nabati bisa ditiadakan.
Kabar baik bagi pebisnis rumput laut di Indonesia. Korea Selatan (Korsel) sudah memiliki paten memproduksi bahan bakar nabati (BBN), yaitu bioetanol dari rumput laut. Dengan teknologi sakarifikasi-fermentasi-simultan, biaya produksi bioetanol lebih efisien. Penemuan tersebut berarti menciptakan pasar baru rumput laut.
Menurut Kim Gyung-soo dan Kim Yong-jin dari Korea Institute of Industrial Technology (KITECH) dalam www.korea.net, teknologi untuk menghasilkan bioetanol ini melalui tiga tahap. Pertama, sakarafikasi, yaitu memecah polisakarida rumput laut menjadi monosakarida atau gula mono (seperti glukosa dan galaktosa).
Kedua, proses fermentasi, dengan tingkat efisiensi yang tinggi sehingga setiap ton rumput laut kering bisa menghasilkan 200 liter bioetanol. Ketiga, purifikasi (pemurnian). Diperkirakan, biaya produksi bioetanol dengan teknologi ini, sekitar US$2 per liter. Namun pada skala besar, biaya itu menjadi sekitar US$1 per liter.
Manfaat Teknologi
Dengan potensi besar rumput laut, Indonesia bisa memetik manfaat kehadiran teknologi itu. Awal Maret lalu, Widi Agus Pratikno, Sekjen Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menandatangani nota kesepahaman dengan Kyoung-huan Na, Presiden KITECH, di Jakarta. Menurut Soen’an H. Poernomo, Kepala Pusdatin DKP, kerjasama ini antara lain soal alih teknologi budidaya rumput laut dan pembangunan fasilitas produksi baru.
Mengutip data DKP, potensi luas area budidaya rumput laut di Indonesia sekitar 1,1 juta hektar (ha), tetapi baru termanfaatkan sekitar 222.180 ha atau 20%. Pada 2007, total produksi rumput laut kita sekitar 1,73 juta ton senilai Rp3,62 triliun. Hampir 99% di antaranya rumput laut hasil budidaya.
Produktivitas rumput laut di Indonesia berkisar 6—8 ton (kering) per ha per siklus. Dengan umur tanam 45 hari dan indeks pertanaman (IP) 600%, bisa dihasilkan 36— 48 ton rumput laut kering per ha per tahun. Padahal, di daerah subtropis, seperti Korsel, umur rumput laut 3—4 bulan dan IP 300%.
Dengan perhitungan sederhana, jika setiap ton rumput laut kering menghasilkan 200 liter bioetanol, berarti dari setiap hektar diperoleh 7.200—9.600 liter per tahun. Kalau 877.820 ha area menganggur tadi ditanami rumput laut, bisa dipanen 42,1 juta ton rumput laut kering atau setara 8,4 miliar liter per tahun. Atau sekitar 43,3% dari kuota premium bersubsidi tahun ini, yang sekitar 19,4 miliar liter.
Pangan dan BBN
Memanfaatkan rumput laut sebagai bahan baku BBN dapat menghindari persaingan antara pangan dengan BBN. Penggunaan tanaman dari daratan, seperti jagung dan gula (bahan baku bioetanol) dan minyak sawit (bahan baku biodiesel), mengakibatkan harga-harga pangan melonjak, di samping juga banyak lahan yang rusak.
Dengan pengembangan BBN dari tanaman laut seperti rumput laut, harga pangan dari daratan seperti jagung, yang sempat meroket, bakal relatif normal. Di sisi lain, rumput laut mampu menyedot karbondioksida dari polusi bahan bakar fosil.
Memang, selama ini sumber energi dunia masih didominasi bahan bakar fosil (tidak terbarukan) sekitar 80% (minyak 35%, batubara 24,6%, dan gas 20,4%), energi nuklir (berisiko) 6,4%, dan sumber energi terbarukan yang sekitar 13,6%. Energi terbarukan yang anyar ini, antara lain tenaga surya, angin, air, panas bumi, dan bioenergi.
Karena itulah, sejumlah ahli berusaha menekan penggunaan bahan bakar fosil dan menggantinya dengan BBN. “Kami menghitung, dengan hanya 3% luas lautan dunia atau setara 20% luas lahan daratan pertanian saat ini, sudah bisa mengganti penggunaan bahan bakar fosil,” tulis Ricardo Radulovich, Direktur Garden Sea Projects dari Universitas Costa Rica dalam www.thefishsite.com.
Di Korsel, yang banyak dikembangkan untuk bahan baku bioetanol adalah rumput laut jenis Gelidium sp. Jenis ini belum banyak dibudidayakan di Indonesia, baru sebatas di Maluku 20.000 ha, Lombok 10.000 ha, dan Belitung Timur 4.000 ha. Yang banyak dikembangkan di sini dua jenis, Eucheuma sp. dan Gracilaria sp.
Teknologi KITECH membuka peluang pasar baru bagi rumput laut. Selama ini, rumput laut antara lain digunakan pada industri kembang gula, es krim, komestik, media citarasa, roti, saus, pengalengan ikan atau daging, dan obat-obatan. Kini, dengan dimanfaatkannya sebagai bahan baku BBN, bakal meningkatkan permintaan rumput laut.
Paten Pertama
Korsel bukan satu-satunya negara yang meneliti rumput laut sebagai BBN. Seambiotic Ltd dari Israel juga sudah mengembangkan teknologi ini. Begitu juga Jepang, yang melibatkan Tokyo University of Marine Science and Technology, Mitsubishi Research Institute, Mitsubishi Heavy Industries, dan perusahaan swasta lainnya. Namun KITECH mengklaim, di dunia merekalah yang pertama mematenkan teknologi produksi bioetanol dari tanaman laut seperti rumput laut ini.
Rencananya, pada 2013, Korsel akan membangun pabrik bioetanol terapung, yang bebas bergerak. Dengan kapal ini mereka bisa memanen, memproses, dan memproduksi bioetanol dari rumput laut sehingga biaya produksi bioetanol lebih efisien.
Sudah saatnya kita memanfaatkan potensi rumput laut sebagai sumber BBN. Dengan bertambahnya pasar rumput laut, berkat kehadian teknologi baru ini, diharapkan kesejahteraan para petani rumput laut meningkat.
Syatrya Utama