NTB berupaya merealisasikan program Bumi Sejuta Sapi. Tapi masih ada ganjalan soal lahan terlantar.
Bagi masyarakat Nusatenggara Barat (NTB), beternak sapi (potong) erat kaitannya dengan urusan ukhrowi. “Orang beternak sapi di NTB itu, niatnya satu: supaya sapi itu bisa mengantarkan mereka ke Masjidil Haram, naik haji,” kata H. Muhammad Zainul Majdi, MA, alias Tuan Guru Bajang (TGB), Gubernur NTB, pada seminar dalam rangka Agrinex Expo 2009 di Jakarta (13/3).
Di kalangan masyarakat Sasak di Lombok, NTB, Tuan Guru adalah sebutan seorang ulama, seperti Kyai di Jawa atau Buya di Sumbar. Sedangkan Bajang adalah orang yang tergolong muda usianya. Pria kelahiran Poncor, Lombok Timur, 31 Mei 1972, ini sudah dianggap sebagai ulama muda. Karena itulah peraih gelar sarjana dan master dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, ini lebih akrab dengan panggilan Tuan Guru Bajang.
Sebagai Ikon NTB
Meski bukan berlatar pendidikan agribisnis, toh kandidat doktor dari Universitas Al Azhar, Kairo, ini menetapkan beternak sapi (potong) sebagai ikon NTB. Ayah empat anak ini lebih melihat kenyataan bahwa bagi masyarakat NTB, beternak sapi itu adalah budaya. “Daerah ini sangat terkenal cinta sapi. Sayang sapi,” ujar putera ketiga pasangan H.M. Djalaluddin, SH dan Hajjah Siti Rauhun Zainuddin Abdul Madjid ini.
Setelah dilantik Menteri Dalam Negeri Mardiyanto sebagai Gubernur NTB, 17 September 2008, Tuan Guru Bajang langsung mencanangkan Program Bumi Sejuta Sapi. Menurut cucu TGH M. Zainuddin Abdul Madjid, pendiri Nahdlatul Wathan (NW), organisasi Islam terbesar di NTB, tersebut, saat ini populasi sapi di wilayahnya sekitar 546 ribu ekor.
Secara normal, kalau mau meningkatkan populasi sapi menjadi satu juta, kata Zainul, baru akan tercapai pada 2017. “Sekarang kita sedang merancang program percepatan, supaya 2013 itu sampai satu juta,” lanjut suami Hajjah Rabiatul Adawiyah, SE (putri KH Abdul Rasyid Abdullah Syafii, Pimpinan Perguruan Islam Pondok Pesantren As Syafiiyah, Jakarta), ini.
Mengundang Investor
Apa yang akan dilakukan Zainul? Pertama, secara teknis, tingkat kelahiran sapi Bali di NTB sekitar 66%, di atas rata-rata nasional. Namun, jarak kelahirannya masih terlalu lama, sekitar 16 bulan. “Sekarang kita sedang merancang supaya bisa 12 bulan,” katanya kepada AGRINA.
Kedua, secara bertahap mengurangi penjualan sapi bibit (indukan). Tahun lalu, mereka menjual 12.000 ekor sapi bibit ke berbagai provinsi di Indonesia. Tahun ini menjadi 8.000 ekor dan tahun depan ditekan menjadi 6.000 ekor. “Kita buat regulasi yang lebih ketat. Kalau sapi bibit terlalu banyak keluar, mengurangi populasi kita,” tukasnya.
Ketiga, mengundang investor besar untuk beternak sapi potong. Apalagi daya dukung wilayah ini cukup bagus, seperti ketersediaan lahan dan hijauan makanan ternak. Kendati demikian, mantan anggota DPR-RI, periode 2004-2009, dari Partai Bulan Bintang itu, tetap memperhatikan peternak rakyat yang selama ini telah menggelontorkan uangnya sampai Rp3 triliun untuk beternak sapi potong.
“Kita senang kalau ada investasi dari pengusaha nasional. Dengan investasi itu, ada teknologi yang masuk, juga sambil mengajak masyarakat. Kita tidak ingin ada industri besar di tempat kita, tapi masyarakat kita terpinggirkan,” tegasnya pula.
Tapi, ada satu hal yang mengganjal di hati Zainul. Sekarang ini ada sekitar 170 ribu ha lahan terlantar, yang Hak Guna Usahanya dipegang beberapa pengusaha nasional. “Hampir sebagian besar tidak termanfaatkan. Bahkan ada yang sudah puluhan tahun. Itu ‘kan dosa. Kalau nggak mau dipakai, dibalikin aja ke pemerintah,” cetusnya.
Agaknya, Pak Gubenur perlu kerja keras merealisasikan misi Bumi Sejuta Sapi di provinsi dengan luas daratan 1,97 juta ha ini. “Perlu regulasi dari Pusat, untuk mengatur pemanfaatan lahan-lahan itu. Kita lagi menunggu payung hukum yang jelas,” harapnya.
Syatrya Utama