Dengan penurunan harga pembelian susu segar, margin keuntungan IPS, koperasi, dan pengecer meningkat.
Berdasarkan ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement (AANZ-FTA), yang ditandatangani, 27 Februari 2009, di Thailand, bea masuk (BM) susu impor dari Australia dan Selandia Baru ke Indonesia, akan turun bertahap menjadi nol persen pada 2017— 2019. Tetapi, kenyataannya, sudah dimulai tahun ini.
Wah, mencuri start, nih? Rupanya, 13 Februari 2009, Menkeu Sri Mulyani Indrawati menelurkan Peraturan Menkeu (PMK) No. 19/PMK.011/2009 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor Produk-Produk Tertentu. Di antaranya skim milk powder (pos tarif 0402.10.30.00 dan 0402.10.90.00) dan full cream milk (0402.21.20.00; 0402.21.90.00; 0402.29.90.00) dan produk susu lainnya (0402.91.00.00).
Insentif Bagi IPS
Dengan keluarnya PMK No. 19 itu, BM susu impor menjadi nol persen. Padahal, sebelumnya, BM-nya 5%. Tentunya ini kabar baik bagi industri pengolahan susu (IPS), yang sekitar 70% bahan bakunya impor. Diperkirakan, sebagian besar produsen susu di Indonesia menggantungkan bahan bakunya dari Australia.
Sebelumnya, melalui PMK No. 145/PMK.011/2008 tanggal 7 Oktober 2008, IPS sudah menikmati insentif Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BM-DTP) untuk skim milk powder (pos tarif 0402.10.30.00 dan 0402.10.90.00) dan full cream milk (0402.21.20.00; 0402.21.90.00; 0402.29.20.00, dan 0402.29.90.00). Nilai BM-DPT-nya Rp107 miliar.
Di sisi lain, kebijakan tersebut justru menekan harga susu segar di tingkat peternak. Misalnya, sebulan sebelum keluarnya PMK No. 145 itu, PT Nestle Indonesia sudah menurunkan harga susu peternak Rp206 per liter. Dalam bahasa Syahlan Siregar, Corporate Affairs Director PT Nestle Indonesia, bukanlah penurunan harga, tetapi pengurangan premium daya saing.
Peran Susu Lokal
Pada waktu itu, harga susu sugar peternak menjadi sekitar Rp3.400—Rp3.500 per liter. Akhir Maret ini, menurut Eka Budi Sulistyo, peternak sapi perah di Boyolali, Jateng, harga pembelian susu segar (kualitas terbaik) oleh KUD sekitar Rp2.800 per liter. Sementara itu, menurut informasi Teguh Boediyana, Ketua Dewan Persusuan Nasional, pihak Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) sedang menegosiasikan harga dengan IPS.
Saat ini, jumlah pabrik IPS sekitar 36 unit dengan kapasitas terpasang 624.835 ton per tahun atau setara 1,95 miliar liter susu segar. Dengan tingkat utilisasi 86%, kebutuhan bahan baku susu sekitar 1,68 miliar liter per tahun. Sapi perah lokal, yang populasinya sekitar 408 ribu ekor, hanya mampu memasok susu segar sekitar 590 juta liter atau 30%.
Menurut FAS-USDA (2009), saat ini harga susu dunia sekitar US$2.000 per ton. Padahal, pertengahan 2007, sekitar US$5.000 per ton. Secara bisnis, wajar jika IPS lebih melirik susu impor. Akibatnya, harga susu segar peternak tertekan. Selain itu, peternak kian terjepit dengan semakin mahalnya harga pakan konsentrat dari Rp1.400 menjadi Rp1.700 per kg.
Pemilih Potensial
Padahal, menurut Ir. Rochadi Tawaf, Dosen Fapet Unpad, Bandung, bila harga susu segar turun Rp200 per liter dan pakan konsentrat naik Rp200 per kg, keuntungan peternak yang saat ini 18,3% turun menjadi 7,7%. Sebaliknya, dengan turunnya harga pembelian susu segar Rp200 per liter, margin keuntungan IPS meroket dari 46,1% menjadi 52,1%.
Begitu juga dengan keuntungan pengecer produk akhir susu, meningkat dari 27,5% menjadi 31,1%. Koperasi, yang menjadi perantara pembelian susu segar peternak dan IPS, meski tipis, margin keuntungannya meningkat dari 8,1% menjadi 9,1%. Alhasil, “Peternaklah yang menanggung risiko (kebijakan pemerintah tersebut),” kata Rochadi.
Jadi, penurunan BM susu impor menjadi nol persen menguntungkan IPS, yang dianggap mesin penggerak pertumbuhan ekonomi, tetapi merugikan peternak rakyat. Padahal, menurut Ditjen Peternakan, Deptan, saat ini jumlah rumah tangga peternak sapi perah sekitar 118.572 atau setara dengan 474 ribu jiwa. Bukankah mereka ini pemilih potensial pada Pemilu?
Syatrya Utama