Pada CTI Summit, pertengahan Mei ini, di Manado, akan diluncurkan program pengelolaan dan pemeliharaan terumbu karang secara regional.
Di kawasan Coral-Reefs Triangle (Segitiga Terumbu Karang), yang mencakup Filipina, Papua Nugini, Timor Leste, Kepulauan Solomon, serta sebagian Indonesia dan Malaysia, ini terdapat sekitar 600 spesies karang dan 3.000 spesies ikan, termasuk tuna. Terumbu karang (kumpulan karang) di kawasan ini menjadi tempat pemijahan dan pengasuhan tuna.
Menurut World Wildlife Fund (WWF), di Lautan Pasifik barat dan tengah bermukim empat spesies tuna, yaitu tuna sirip kuning, tuna sirip panjang, tuna mata besar, dan cakalang. Daerah ini memasok sekitar 50% tuna-tangkap global, yang mewakili setengah tuna-kaleng dunia dan sepertiga pasar sashimi Jepang.
Nilai Perdagangan
Tuna, salah satu jenis ikan yang digemari masyarakat Jepang, Thailand, Amerika Serikat, Italia, dan Spanyol. Di dunia, tuna diperdagangkan sebagai bahan baku tuna kaleng, tuna konsumsi, dan tuna kaleng. Diperkirakan kontribusi nilai perdagangan tuna terhadap produk-produk perikanan dunia sekitar 8,6%.
Menurut Globefish, pada 2002, total tuna tangkap dunia sekitar 4,2 juta ton senilai sekitar US$5 miliar. Seiring meningkatnya permintaan di Amerika Utara, Eropa, dan Asia, terjadi peningkatan penangkapan tuna. Saat ini, menurut berbagai sumber, diperkirakan total tuna tangkap dunia sekitar 4,4 juta ton dengan nilai sekitar US$5,4 miliar.
Tuna tangkap terdiri dari lima spesies, yaitu tuna sirip kuning, cakalang, tuna mata besar, tuna sirip panjang, dan tuna sirip biru. Dari total tuna tangkap dunia, yang 4,4 juta ton itu, sekitar 82,3% adalah tuna sirip kuning dan cakalang.
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut data Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APIKI), pada 1996 volume ekspor tuna sekitar 30.984 ton dengan nilai US$77,9 juta. Sementara itu, pada 2007, menurut data Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), volume ekspornya 68.886 ton yang senilai US$146,4 juta. Dalam kurun 1996—2007 dari segi nilai, ekspor tuna Indonesia meningkat rata-rata 8% per tahun.
Pendapatan Nelayan
Tuna, selain sebagai sumber pendapatan nelayan, juga penting bagi ketahanan pangan. Tapi, tingginya permintaan, telah mendorong masyarakat menangkap tuna secara ilegal, berlebihan, dan metode penangkapan yang merusak terumbu karang seperti menggunakan bom atau racun. Jangan heran kalau belakangan ini populasinya kian melorot.
Selain itu, karena pemanasan global, suhu air laut meningkat 2—3 derajat Celcius. Akibatnya, alga mati lantaran tidak mampu beradaptasi. Padahal alga makanan terumbu karang sehingga mati pulalah sarang tuna ini yang ditandai dengan perubahan warna (coral bleaching).
Jadi, kalau kita tidak melestarikan terumbu karang di Coral-Reefs Triangle, yang disebut-sebut sebagai “ibukota” tuna dunia, bakal banyak industri tuna gulung tikar lantaran kesulitan bahan baku. Bagi industri tuna, kawasan ini menjadi indikator kesehatan laut. Melorotnya populasi tuna, pertanda semakin tidak sehatnya laut.
Inisiatif Indonesia
Menyehatkan terumbu karang di kawasan tersebut besar manfaatnya bagi ketersediaan tuna berkelanjutan. Coral-Reefs Triangle Initiative (CTI), yang dideklarasikan 9 September 2007 pada pertemuan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Sydney, Australia, merupakan terobosan pengelolaan dan pemeliharaan terumbu karang secara regional yang mencakup enam negara tadi.
“Kita yang punya inisiatif,” kata M. Syamsul Maarif, Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil DKP, Januari lalu. AS dan Australia, meski tidak termasuk dalam kawasan segitiga ini, sejak awal sangat mendukung CTI. “Mereka ikut mendukung karena ada kaitannya dengan ketersediaan pangan,” tambah Kepala Sekretariat CTI itu.
Mengapa perlu pengelolaan secara regional? Tuna bermigrasi dari suatu tempat ke tempat lain, antara lain untuk mencari makanan. Di kawasan Coral-Reefs Triangle ini, tuna bisa berpindah-pindah dari suatu negara ke negara lain. Dengan demikian pengelolaan terumbu karang secara regional menjadi penting untuk menjaga kelestarian tuna dunia. Kelestarian ini juga dapat dilakukan dengan membatasi jumlah penangkapannya.
Konservasi terumbu karang ini dilakukan antara lain dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat di sekitar pantai untuk tidak menggunakan bom atau racun dalam menangkap tuna. Selain itu bisa pula melalui penanaman terumbu buatan (seperti cetakan semen dan bekas ban mobil) dan transplantasi karang.
Komitmen Tinggi
Menurut Syamsul, pemerintah berkomitmen tinggi mengkonservasi laut, terutama terumbu karang. Apalagi menurut data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (1993), dari sekitar 8,75 juta ha terumbu karang di Indonesia yang kondisinya sangat baik sekitar 6,5% dan baik 22,5%. Sisanya, 71% rusak oleh alam maupun ulah manusia.
Pada 2010, pemerintah menargetkan kawasan konservasi terumbu karang di sekitar 10 juta ha dan sepuluh tahun kemudian sekitar 20 juta ha. Akhir 2008, sudah terealisasi 9,2 juta ha. Dengan tambahan tiga juta ha pada 2009 ini, berarti target 2010 terlampaui.
Secara regional, konservasi terumbu karang ini akan diluncurkan pada CTI Summit, 15 Mei 2009, bersamaan dengan World Ocean Conference di Manado, Sulawesi Utara. CTI bisa dibilang karya monumental Indonesia. “Semua ini untuk kepentingan generasi mendatang,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, beberapa waktu lalu.
Syatrya Utama