Senin, 30 Maret 2009

Mengeruk Dollar dari Kesejagatan Sushi

Sushi adalah perpaduan sempurna budaya makan dan industri Jepang. Ia juga menjadi matarantai yang panjang dari pasokan dunia.

Dalam gulungan sushi (sushi roll) terdapat nasi yang di dalamnya diisi alpukat, wortel, mentimun, campur belut, udang, cumi, telur dadar atau telur ikan. Atau nasi yang dikepal ditemplok sayatan ikan salmon, atau ikan tuna, mackerel, ekor kuning, udang. Gulungan itu dibungkus dengan pelapis berbahan rumput laut. Lalu untuk penyedapnya ada kecap asin, acar jahe, sayatan lobak, daun mint, dan “sambal” wasabi. Pendampingnya adalah miso soup. Dari semuanya itu, mungkin hanya nasi koshihikari dan wasabi yang benar-benar asli Jepang, sementara selebihnya sebagian besar didatangkan dari luar.

Bidik Pasar China

Rumput laut dan udang sebagian besar didatangkan dari Indonesia. Tuna ditangkap di Pasifik, atau sebagian menadah hasil pemancingan ilegal. Ikan jenis lainnya didapat dari Pasifik. Sayuran dan biji-bijian diimpor dari China. Demikian pula bahan mentah lainnya.

Sushi memberikan banyak nilai tambah kepada semua bahan. Juga memberi untung pada pabrik pisau penyayat dan mesin penggulung, serta kerajinan anyaman bambu dan piring-mangkok porselen. Tapi yang paling banyak meraih nilai tambah atas budaya kuliner Jepang ini adalah industri ikan mentah beku (untuk sashimi), soya saus, wasabi, rumput laut, dan acar jahe.

Kementerian Pertanian-Kehutanan-Perikanan Jepang mengemukakan (2006), bisnis restoran Jepang di mancanegara menghasilkan US$22 miliar setahun. Di luar Jepang kini terdapat 25.000 restoran Jepang. Dari jumlah itu 9.000 terdapat di Amerika Serikat dan 10.000 di negara-negara Asia, terbanyak di Singapura, 200 restoran. Makanan unggulannya adalah sushi yang didampingi sashimi (ikan mentah), yang cepat saji dan penampilannya asri, maka kebanyakan restoran itu dibangun dengan jajaran sushi bar.

Ekspor produk pertanian-kehutanan-perikanan Jepang ke-20 negara tujuan, terutama di Asia, naik dari 66% pada 2001 menjadi 71% pada 2006. Jepang kini sedang berusaha keras menggenjot pasar produk perikanannya ke China dengan sushi sebagai ujung tombaknya. November 2008, sejumlah distributor  seafood dari Prefektur Oita menampilkan secara besar-besaran penyajian sushi kepada pengunjung pameran pangan di Dalian, China. Di situ diperagakan seni membuat nasi, dan menggulungnya, serta seni menyayat fillet ikan. Pengunjung membentuk antrean panjang untuk bisa mendapatkan sepotong sushi.

Ekonomi Sushi

Sasha Issenberg, penyusun buku “The Sushi Economy: Globalization and the Making of a Modern Delicacy” mengatakan, kini semua mata tertuju ke China. Kalangan menengah di sana yang mulai mengecap kemewahan, tergiur pada sushi, yang pada gilirannya akan berdampak pada pasokan, harga, dan penangkapan.

Hari depan sushi ada di China, negara berpopulasi raksasa yang bisa melompat jauh. Dari kisah bisnis dan budaya global seputar sushi, Issenberg percaya globalisasi hidup dan berkelanjutan setiap hari. Ia melihat indikasi serupa di Rusia, Dubai, dan negeri-negeri Asia Timur, sebagai petunjuk bagus tentang keterlibatan masyarakat dalam global ekonomi. 

Produk-produk sushi yang ditujukan ke negara atau kawasan tertentu mengikuti ketentuan halal atau kosher. Namun yang bikin kita mengernyitkan dahi adalah rencana Jepang membentuk “polisi sushi” dan menerbitkan sertifikat keaslian makanan Jepang di negara-negara di luar Jepang. Alasannya, banyak turis Jepang mengeluh tentang makanan di restoran Jepang di luar negeri yang amburadul.

Namun banyak orang melihat “ada udang di balik batu”. Langkah ini sebenarnya untuk mendongkrak ekspor produk perikanan Jepang. Apalagi pemerintah Negeri Matahari Terbit itu menargetkan ekspor produk pertanian dan perikanan pada 2013 menjadi US$9 miliar, tiga kali lipat dari tahun lalu. Lebih banyak restoran Jepang menggunakan bahan pangan yang “otentik”, makin berkibarlah ekspor Jepang.

Pembentukan polisi sushi yang rencananya menginspeksi restoran-restoran Jepang di seluruh dunia ditunda. Diganti dengan sistem rating sebagai hasil kunjungan tim ahli yang bekerja di bawah pengawasan Kementerian Pertanian-Kehutanan-Perikanan Jepang.  Hasil inspeksi ini akan diumumkan secara luas.

Secara LSM juga telah dibentuk Organisasi bagi Memajukan Restoran Jepang di Luar Negeri, beranggotakan koki profesional, eksekutif perusahaan makanan, dan akademisi. Anggota organisasi ini, secara sukarela akan memakai masa cuti tahunannya untuk mengunjungi restoran restoran Jepang di kota-kota penting dunia. Mereka akan mengeluarkan rekomendasi tentang restoran-restoran Jepang yang otentik. Gerakan mereka ini untuk menghindarkan penyebaran citra buruk tentang makanan Jepang. Harap diketahui, 90% dari restoran-restoran Jepang di mancanegara itu dimiliki dan dioperasikan oleh orang-orang non-Jepang.

Daud Sinjal, dari berbagai sumber

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain