Pasar internasional kian menuntut produksi dan penggunaan minyak sawit secara berkelanjutan. Iming-imingnya, akses pasar lebih luas dan harga lebih tinggi.
Minyak sawit menduduki posisi kedua setelah minyak kedelai dalam produksi minyak nabati dunia. Kontribusinya mencapai 28 juta ton dari 95 juta ton minyak nabati dunia.
Minyak sawit tidak mengandung rekayasa genetik (GMO) dan pohonnya terbilang penghasil minyak paling efisien per hektar dibandingkan semua biji-bijian bahan minyak. Namun, perluasan kebun sawit melalui konversi hutan yang pesat terutama di Malaysia dan Indonesia dipandang mengancam keanekaragaman hayati. Karena itu, pemangku kepentingan bisnis sawit di level dunia gencar mempromosikan produksi minyak sawit secara berkelanjutan.
Mereka yang terdiri dari pekebun kelapa sawit, pengolah dan penjual minyak sawit, penghasil produk konsumen, pengecer, bank dan investor, LSM lingkungan hidup, serta LSM sosial itu bersatu dalam wadah Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Organisasi nirlaba berbasis di Zurich, Swiss, ini mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk minyak sawit berkelanjutan.
Standar tersebut meliputi 8 prinsip yang dijabarkan dalam 39 kriteria atau biasa disebut P & C RSPO. Kedelapan prinsip ini mencakup: (1) Komitmen terhadap transparansi; (2) Mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku; (3) Komitmen terhadap kelayakan ekonomi dan keuangan jangka panjang; (4) Penggunaan praktik terbaik dan tepat oleh perkebunan dan pabrik; (5) Tanggung jawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keanekaragaman hayati; (6) Tanggung jawab kepada pekerja, individu-individu, dan komunitas kebun dan pabrik; (7) Pengembangan perkebunan baru secara bertanggung jawab; dan (8) Komitmen terhadap perbaikan terus menerus pada wilayah-wilayah utama aktivitas.
Di tiap negara produsen sawit dikembangkan interpretasi nasional untuk memastikan adanya kesesuaian P & C dengan hukum, norma, dan nilai setempat. Di Indonesia Interpretasi Nasional Prinsip & Kriteria RSPO (INA-NI) sudah disetujui Dewan Eksekutif RSPO pada 27 Mei 2008.
Baru Dua
Sejauh ini sudah 8 perusahaan yang memperoleh sertifikat RSPO, satu asal Papua Nugini, lima asal Malaysia, dan dua dari Indonesia. Yang dari Indonesia adalah Musim Mas Group dan PT Hindoli (milik Cargill).
“Dari total 90.000 ha, yang sudah disertifikasi enam kebun di Riau seluas 23.517 ha dan dua pabrik kelapa sawit,” jelas Gunawan Siregar, Senior Manager Divisi Perkebunan, Musim Mas Group, saat acara Penyerahan Sertifikat Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan Pertama di Indonesia 17 Februari 2009.
Menyusul kemudian 2 Maret 2009, PT Hindoli di Sumsel, meraih sertifikat RSPO. “Sertifikasi RSPO ini menjadi bukti penting keberhasilan kami dalam upaya berkelanjutan untuk menjadikan semua perkebunan kelapa sawit Cargill nantinya mendapat sertifikasi RSPO,” ujar Richard Tan, CEO CTP Holdings Pte Ltd, perusahaan patungan kelapa sawit milik Cargill.
Mengantongi sertifikat RSPO, minyak sawit produksi perusahaan tersebut bisa mendapat akses pasar lebih luas, khususnya ke Eropa. Pasar Eropa selama ini memang cukup kencang menentang praktik-praktik perkebunan yang dianggap membahayakan ekosistem. Menurut Bachtiar Karim, pihaknya berharap dapat memasok lebih banyak lagi ke pasar Eropa. Dengan sertifikasi RSPO yang menelan biaya US$600 ribu, “Kita harapkan dapat premi kira-kira US$20—US$50 per ton,” ujar Presdir Musim Mas Group yang tahun lalu mengekspor 3,5 juta ton produk sawit ini.
Selain dua perusahaan tersebut, tiga perusahaan sedang dalam proses penilaian untuk memperoleh sertifikat, yaitu PT Lonsum Tbk. (Sumut), PT Sime Ido Agro (Kalbar), dan PTPN III (Sumut).
Peni SP