Senin, 16 Maret 2009

Setelah Chips, Kini French Fries

Di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, akan dikembangkan varietas Russet Burbank.

Diperkirakan, tahun ini, impor kentang, terutama kentang goreng (french fries), sekitar 48,02 ribu ton senilai US$33,14 juta. “Kentang french fries ini 100% masih impor,” kata Ahmad Dimyati, Dirjen Hortikultura, Deptan, di Pendopo Kabupaten Kerinci, di sela-sela acara kunjungan kerja Menteri Pertanian Anton Apriyantono di Provinsi Jambi (20/2).

Padahal, permintaan terhadap kentang goreng ini semakin tinggi, sejalan berkembangnya restoran waralaba, seperti McDonald dan Kentucky Fried Chicken di Indonesia, yang salah satu menunya kentang goreng. “Kita akan mengembangkan kentang french fries ini,” lanjut Dimyati.

Bibit Sendiri

Untuk itulah, menurut Dimyati, pemerintah akan memfasilitasi kerjasama pihak swasta dengan Australia Barat dan Kanada untuk mengembangkan kentang french fries di Indonesia. Pada tahap awal, mengimpor bibit kentang french fries, sedangkan produksi dan pengolahan menjadi bahan baku kentang goreng dilakukan di Indonesia. “Ke depan, kita akan mengembangkan kapasitas untuk memproduksi bibit sendiri,” tutur Dimyati.

Menurut Yulbahar, Direktur Sayuran dan Tanaman Biofarmaka, Ditjen Hortikultura,  di Kabupaten Kerinci tersebut akan dikembangkan kentang goreng varietas Russet Burbank. Di kabupaten ini terdapat lahan kentang sekitar 3.500 ha. Selain Kerinci, Pengembangannya juga direncanakan di Jangkat, Kabupaten Merangin, Jambi dan di Modoinding, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulut.

Diperkirakan, pengembangan kentang goreng akan mengikuti pola kentang keripik (potato chips). Pengembangan bahan baku keripik kentang ini sudah dilakukan PT Indofood Fritolay Makmur melalui kemitraan dengan petani kentang, antara lain di Garut, Bandung, Wonosobo, Pemalang, Modoinding (Minahasa Selatan) dan Kabupaten Kerinci. “Bibitnya ada yang diproduksi di Indonesia, ada yang diimpor,” jelas Dimyati.  

Mula-mula perusahaan mitra memperkenalkan varietas kentang keripik dari Kanada dan Australia, seperti Panda, Columbus, dan Atlantic. Meski peka terhadap penyakit busuk daun dan produktivitasnya rendah, sekitar 12 ton per ha, toh petani lebih menyukai Atlantic.

Di lain pihak, Balai Penelitian Sayuran, Lembang, Bandung, mengembangkan varietas kentang keripik, seperti Balsa, Krespo, Margahayu, dan Kikondo. Dari hasil pengujian, kentang keripik varietas lokal itu memenuhi syarat sebagai bahan baku keripik kentang.

Dengan memanfaatkan varietas lokal, produksi benih dan umbi kentang keripik ini dapat dilakukan di Indonesia tanpa harus membayar royalti seperti kalau menggunakan varietas Atlantic. Pola seperti inilah yang akan diterapkan pada pengembangan kentang goreng.

Kentang Konsumsi

Memang, kita masih kekurangan pasokan kentang goreng dan kentang keripik. Berbeda dengan kentang konsumsi, kita sudah mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Sebagian besar produksi kentang nasional, yang sekitar satu juta ton, adalah kentang konsumsi. Bahkan kita sudah mengekspor, antara lain ke Malaysia dan Singapura. Tahun ini, menurut Yulbahar, target ekspor kentang konsumsi sekitar 139,96 ribu ton senilai US$16,4 juta.

Saat ini, hampir 90% kentang yang ditanam di Indonesia adalah varietas Granola. Petani lebih menyukai Granola lantaran hasilnya tinggi (sekitar 20 ton per ha), berumur pendek, dan daya adaptasinya luas. Namun, kentang ini tidak cocok untuk bahan baku kentang keripik atau kentang goreng, yang mensyaratkan tingkat kepadatan yang tinggi.

Karena itulah, pemerintah memfasilitasi perusahaan swasta yang ingin mengembangkan kentang goreng. “Kita akan melibatkan perusahaan pengolahan makanan,” janji Dimyati.

Syatrya Utama

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain