Pemotongan betina produktif masih saja berlangsung. Padahal kita membutuhkannya untuk memperbanyak populasi.
Untuk mengatasinya, pemerintah akan mempidanakan pelaku pemotongan hewan betina produktif. Dasar hukumnya adalah Pasal 87 Rencana Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan (RUU PKH) yang menurut rencana akan disahkan tahun ini. Di dalam RUU, disebutkan, ”Setiap orang yang menyembelih ternak ruminansia yang masih produktif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp5 juta dan paling banyak Rp50 juta.”
Menurut Tjeppy D. Soedjana, Dirjen Peternakan Deptan, aturan yang tertuang dalam RUU PKH itu untuk mencegah semakin berkurangnya ternak ruminansia di dalam negeri. ”Memang akan ada sanksi pidana atau denda, tapi tidak bersifat spektakuler yang bisa menimbulkan ketakutan masyarakat beternak sapi. Sanksinya masih wajar,” katanya pada jumpa pers awal Maret lalu.
Berdasarkan data Deptan, populasi sapi potong memang terus merosot. Dalam satu dekade terakhir, populasi berkurang 2,6 juta ekor, dari 12,8 juta ekor tersisa 10,2 juta ekor. Sementara kebutuhan nasional mencapai 2,1 juta—2,2 juta ekor per tahun.
Dari kebutuhan tersebut, peternak domestik hanya mampu memasok 1,7 juta ekor per tahun yang 200 ribu ekor di antaranya adalah betina produktif. Kondisi ini tak terlepas dari laju kebutuhan daging sapi yang lebih tinggi dibandingkan jumlah kelahiran anak sapi.
Bentuk BLU
Didiek Purwanto, Ketua Umum Forum Feedloter Lampung, meragukan aturan pelarangan ternak betina produktif dapat diditerapkan. Bahkan, hal itu seharusnya, menurut dia, tidak diterapkan. Sepanjang peternak mendapat keuntungan dari memelihara ternak betina, dipastikan ia terus memeliharanya. "Seharusnya bagaimana kita bisa menyikapi hal ini. Dengan dana talangan misalnya, sehingga saat peternak butuh uang tidak sampai menjual ternaknya ke rumah potong hewan. Peternak itu, sepanjang ada benefitnya pasti tidak akan menjual," kata Didiek melalui telepon.
Sementara itu, Teguh Boediyana, Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) mengatakan, persoalan pemotongan sapi betina produktif ini memang agak dilematis. Jika diterapkan secara tegas rencana pengenaan sanksi pidana, dapat mengakibatkan harga jual sapi potong jatuh. Kalau harga jual terlalu rendah, masyarakat jadi tidak berminat memelihara sapi. Akibatnya keinginan pemerintah menambah populasi sapi potong dalam negeri justru tidak akan tercapai. “Karena hampir 100 persen sapi di Indonesia milik rakyat yang tergolong peternak kecil,” jelasnya.
Karena itu, Teguh mengusulkan, pemerintah wajib membeli sapi betina produktif yang rencananya akan dipotong dengan harga layak. “Saya kira hal itu sangat positif karena langkah penyelamatan sapi betina produktif suatu keharusan. Jika pemerintah mengatakan ada 200 ribu ekor yang dipotong per tahun, maka itu jumlah yang tidak kecil untuk diselamatkan. Bila ini bisa dicegah, maka akan terjadi penambahan populasi yang signifikan,” ucapnya.
Teguh berpendapat, perlu ada suatu lembaga seperti badan layanan umum (BLU) yang khusus menangani betina produktif yang diselamatkan tersebut. Selanjutnya sapi-sapi betina itu dipelihara. Setelah beranak, didistribusikan kembali kepada masyarakat dengan sistem kredit. Dengan adanya redistribusi sapi betina, masyarakat akan bertanggung jawab untuk tetap memelihara sapi itu. “Apalagi akan adanya program KUPS (Kredit Usaha Pembibitan Sapi, Red) yang sudah siap anggarannya. Pelaksanaan programnya dapat disinkronkan dalam lembaga tersebut,” jelas Teguh.
Yan Suhendar