Modal cekak tak harus menyurutkan minat mendirikan usaha. Merangkul sejawat bisa jadi alternatif solusinya.
Setelah mendapatkan pelatihan usaha agribisnis dari perusahaan sebagai persiapan pensiun, Hasanuddin tergiur dengan prospek usaha peternakan ayam pedaging (broiler). Pertimbangannya, perputaran modal dalam bisnis ini cukup cepat, sekitar satu bulan, bahkan hanya 20—25 hari.
Menyadari dirinya tidak punya modal cukup, mantan karyawan bagian keuangan dan akuntansi PT Wijaya Karya ini pun merangkul rekan-rekan sejawatnya. Terkumpullah modal sejumlah Rp150 juta yang kemudian dikelola dengan pola bagi hasil.
Sistem Bagi Hasil
Berbekal modal tersebut, pria kelahiran 1955 ini mengusahakan peternakan dengan kapasitas 15 ribu ekor. Ayamnya ditempatkan pada dua lokasi kandang sewaan di Bekasi dan Cianjur.
Sukses dengan langkah pertama, Hasanuddin yang mengaku awalnya tidak pernah terpikir untuk penjadi peternak, kemudian melakukan ekspansi usaha pada tahun 2000. Saat itu ia mendapat suntikan modal baru sebesar Rp250 juta dan lahan seluas satu hektar di Sawangan, Bogor. Di lahan tersebut ia membangun kandang.
“Dengan modal itu, saya bisa melakukan chick in (pemasukan ayam) lagi 30.000 ekor. Modal besar ini merupakan kepercayaan besar yang diberikan kepada saya oleh seorang mantan petinggi perusahaan saya dulu,” kenang ayah tiga anak ini.
Berbekal pengetahuan pengelolaan keuangan, usahanya dapat berkembang sangat baik. Sampai saat ini kisaran kapasitas populasi ayam yang dikelolanya sudah mencapai 100 ribu—150 ribu ekor per siklus. “Jika ongkos produksi per ekor mencapai Rp15.000 per ekor, tentunya omzet usaha kami bisa mencapai Rp1,5 miliar,” pria kelahiran Medan ini memberi ilustrasi ketika ditanya besaran omzetnya.
Hasanuddin dan pemodalnya yang berasal dari keluarga, mantan rekan kerja, dan lingkungannya itu menerapkan pola proportional sharing. Para investornya mendapat pembagian profit 5%—10% dari jumlah modal yang ditanamkan. Dengan besaran profit lebih tinggi ketimbang bunga bank yang saat ini hanya 2%—3% per bulan, usahanya dapat bertahan hingga sekarang telah sekitar 9 tahun.
Sebagai pengelola usaha, Hasanuddin mendapatkan pendapatan dari management fee. “Untuk persentase tidak ada bakunya, hanya kisaran Rp5 juta—Rp15 juta per bulan,” jelasnya tentang penghasilan dari pola tersebut.
Sedangkan, penghasilan bersih anak kandang bisa Rp1 juta—Rp2 juta per bulan, dan uang makan Rp100 ribu per minggu. “Jika hasil produksi bagus dan harga sedang bagus per siklus, maka akan diberikan intensif Rp400 ribu—Rp900 ribu, dan bonus Rp300 ribu—Rp1 juta,” lanjut Hasanuddin.
Saat ini usaha peternak yang sekarang menjabat Bendahara Perhimpunan Peternak Unggas Bersatu (PPUB) tersebut mempekerjakan 50 karyawan dan anak kandang yang tersebar di lokasi kandang, mulai dari Bekasi, Cariu, Sawangan, Karawang. “Kandang-kandang ini bukan kami miliki, namun merupakan kandang penyewaan,” terangnya.
Pilihan menyewa lebih dikarenakan mahalnya investasi kandang. Untuk satu unit kandang membutuhkan biaya kisaran Rp300 juta—Rp400 juta. “Investasi kandang bagi kami bisa senilai biaya produksi ayam sebanyak 20 ribu—30 ribu ekor,” papar lelaki yang mengajukan pensiun dini.
Berbincang soal prospek usaha broiler, Hasanuddin menganggap 2009 sebagai tahun yang membutuhkan nyali besar sehingga harus dijalani dengan hati-hati karena risiko beternak semakin tinggi. Namun, karena ayam sudah merupakan matapencarian utama, mau tak mau usahanya harus jalan terus. “Kita tetap akan chick in, jangan sampai kosong kandang, sambil mengamati situasi pasar dan daya beli konsumen. Yang penting, ada dana untuk hidup kita dan anak kandang,” tegas peternak yang awal tahun ini sempat mengosongkan kandangnya.
Yan Suhendar