Senin, 16 Maret 2009

Laut Terkuras Jutaan Orang Terancam

Penurunan ketersediaan ikan di laut akibat perubahan iklim serta pengelolaan perikanan tangkap dan budidaya yang salah dapat menjadi ancaman serius bagi masyarakat yang bergantung pada sektor ini.

Industri dan otoritas perikanan perlu kerja lebih keras untuk mewaspadai dan berjaga-jaga terhadap akibat perubahan iklim. Laporan FAO 2 Maret 2009 menyajikan status perikanan tangkap dan budidaya dunia (The State of World Fisheries and Aquaculture - SOFIA) memberi pesan agar usaha penangkapan ikan dilakukan secara bertanggungjawab (responsible fishing practices) serta menyerasikan perencanaan dan strategi dengan perubahan iklim. “Jalankan dengan praktik yang benar seperti tertuang dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries FAO. Dengan begitu Anda telah mengambil langkah penting dalam mitigasi dampak perubahan iklim,” kata Kevern Cochrane, salah seorang penyusun SOFIA.

Perubahan iklim telah mengubah distribusi perikanan laut dan air tawar. Ikan dari  perairan yang lebih hangat terdesak ke arah kutub dan mengalami perubahan habitat serta produktivitasnya. Perubahan iklim juga mempengaruhi proses biologi musiman dan  menjauhkan makanan dari ikan yang berdampak pada produksi. Bagi masyarakat yang sangat bergantung pada ikan, penurunan ketersediaan ikan yang menggoncang matapencaharian, akan menjadi masalah serius, terutama di lapisan paling rawan.

Setengah Miliar Orang

FAO memantau ketersediaan ikan liar. Statusnya 19% dari yang komersial sudah kelebihan tangkap, 8% menyusut, dan cuma 1% yang berhasil pulih. Sekitar 52% pada peringkat eksploitasi penuh dan produksi penangkapannya sudah melewati ambang keberlanjutannya.

Wilayah perairan dengan tingkat eksploitasi penuh adalah Atlantik Utara, Lautan Hindia barat, dan Pasifik barat laut. SOFIA mencatat, kapasitas berlebih adalah kunci utama dari nasib perikanan tangkap sekarang ini. Langkah penanggulangan dan pengaturan ketat terhadap kapal pukat, penangkapan ikan ilegal dan tangkapan ikutan yang dibuang sangat lamban.

SOFIA juga menggambarkan tentang pentingnya ikan tangkap dan budidaya di negara berkembang. Diperkirakan 43,5 juta rakyat terlibat langsung atau tidak langsung di perikanan tangkap dan perikanan budidaya, yang sebagian besar (86%) berada di Asia. Ada 4 juta orang lagi yang terjun ke usaha perikanan secara musiman. Jika dihitung, semua pekerja di pabrik pengolahan ikan, jasa pemasaran, dan keluarga yang terlibat langsung atau tidak langsung, lebih setengah miliar orang bergantung pada sektor tersebut.

Ikan memberikan protein hewani rata-rata 15% per kapita pada lebih 2,9 miliar orang. Menyumbang sedikitnya 50% dari total asupan protein hewani di banyak negeri berkembang, seperti Bangladesh, Kamboja, Gambia, Ghana, Indonesia, dan Sierra Leone. Juga menjadi penting karena membuka lapangan kerja, sementara pemasukan negara-negara berkembang itu dari ekspor perikanan mencapai US$24,6 miliar per tahun. Di seantero dunia kini terdapat sekitar 2,1 juta kapal ikan bermesin, sebagian besar (90%) berukuran panjang di bawah 12 m. Sejumlah 23 ribu bertonase besar yang dijuluki kapal industri.

Hewan Laut Kelaparan

Pada hari yang sama (2 Maret 2009), laporan FAO menyimpulkan 80% ikan laut  fully exploited, overexploited, menyusut, atau pulih dari penyusutan. Lembaga riset kelautan Oceana juga menyiarkan laporan berjudul “Laut Lapar, apa yang terjadi kalau ikan mangsa hilang?”. Ini menggambarkan betapa penangkapan berlebihan untuk pakan ikan budidaya dan perubahan iklim mengakibatkan malnutrisi pada ikan-ikan pemangsa, mamalia, dan burung-burung laut.

"Kita telah menangkap semua ikan besar dan kini kita pun mengincar makanannya,” keluh Margot Stiles, pakar kelautan Oceana. Tatkala populasi ikan-ikan besar jumlahnya menciut, usaha perikanan beranjak ke sasaran ikan-ikan kecil. Salmon, tuna, dan ikan-ikan karnivora lainnya menjadi cepat bertumbuh di tempat budidaya karena diberi pakan ikan-ikan kecil itu sehingga persediaan makanan untuk ikan-ikan di laut berkurang. Perubahan cuaca dan arus di lautan yang disebabkan perubahan iklim juga membuat ikan-ikan pemangsa lebih rapuh.

Maka, siapa yang bakal lapar? Pertama, pemangsa di laut seperti paus, lumba-lumba, singa laut, anjing laut, burung-burung, yang bergantung pada cumi-cumi, ikan kecil, dan udang-udangan. Lalu, sejumlah besar ikan komersial dan pemancingan rekreasi, khususnya tuna sirip biru, sejenis kakap, salmon pasifik, dan halibut atlantik yang hidupnya bergantung pada ikan-ikan pemangsa.

Lumba-lumba hidung botol di Laut Tengah, sebagai contoh, sangat menurun jumlahnya, sebagian akibat overfishing ikan sardin dan teri. Ilmuwan yang meneliti di bagian timur Laut Ionia menemukan 40% dari lumba-lumba hidung botol kurus kerempeng akibat kelaparan.

Apa solusinya? Manajemen penangkapan yang lebih bertanggungjawab. Laporan Oceana ini ditutup dengan sejumlah usulan. Di antaranya moratorium terhadap perikanan menangkap spesies pemangsa, melakukan penangkapan yang lebih konservatif, pembatasan usaha perikanan yang masih beroperasi, menempatkan prioritas kepada ikan-ikan predator di laut, menghentikan penangkapan ikan-ikan kecil di wilayah pembiakan ikan predator.

Daud Sinjal, dari berbagai sumber

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain