Senin, 16 Maret 2009

Mengangkat Margin dengan Asap

Tak perlu modal besar dan teknologi tinggi untuk mendongkrak keuntungan usaha lele. Melalui pengasapan, H. Suaeb meraih laba 50% lebih tinggi.

Lele biasanya dipasarkan dalam keadaan segar. Dengan harga sekitar Rp11.000 per kg dan biaya produksi rata-rata Rp9.000 per kg, maka keuntungan pembudidaya hanya sekitar Rp2.000 per kg atau sekitar 22%. Keuntungan tersebut semakin berkurang bila harganya melorot, yakni saat panen raya, yang biasanya jatuh pada musim penghujan.

Tapi tahukah Anda, hanya dengan sedikit sentuhan teknologi pengolahan sederhana, keuntungan usaha lele bisa melambung hingga 50%. Salah satunya adalah industri pengolahan lele asap yang dijalani oleh H. Suaeb yang terletak di Desa Pengasinan, Kec. Gunungsindur, Kab. Bogor. Dengan harga Rp60.000 per kg dan kapasitas produksi 4,5 ton lele asap per bulan, ia  mampu meraup keuntungan lebih dari Rp90 juta.

Bermodal Pisau dan Golok

Usaha pengolahan lele asap milik H. Suaeb sudah berlangsung sejak 1983. Namun, pada awalnya usaha pengolahan lele asapnya masih merupakan usaha sambilan saja dengan produksi rata-rata 30 kg per hari. Pada saat itu, bisnisnya masih terfokus dalam bidang budidaya dan pemasaran ikan-ikan air tawar. “Segitu aja masarinnya sulit. Pembeli pada tanya, ini lele apaan?” ujar H. Suaeb menceritakan pengalamannya ketika berjualan lele asap di Pasar Lawang Seketeng, pusat pasar ikan olahan di kota Bogor 26 tahun lalu.

Maklum, konsumen yang dibidik H. Suaeb, yakni daerah Bogor dan Jakarta, belum mengenal ikan olahan berwarna hitam pekat ini. Ayah empat anak ini mendapat inspirasi saat ia menjadi pemasok ikan-ikan air tawar ke wilayah Palembang dan Medan. Di wilayah itu, secara tradisional masyarakatnya biasa mengonsumsi hidangan berbahan ikan asap sehingga industri pengolahan ikan asap, termasuk lele, cukup marak.

Lalu apa pertimbangannya sehingga ia berani memproduksi ikan olahan yang belum dikenal di daerahnya? Menurut H. Suaeb, masyarakat di sekitar Jabodetabek sudah biasa makan ikan. “Kenapa masyarakat yang sudah biasa makan ikan (segar) tidak bisa makan ikan asap?” katanya lagi. Berbekal keyakinan itulah ia dan Kelompok Usaha Citra Dumbo, terus memproduksi lele asap sambil terus belajar memperbaiki kualitas produk dan mencari peluang pasar.

Dengan dibantu oleh lima orang karyawan yang masih berkerabat dengannya, kini bapak asli Gunugsindur ini mampu mengolah 500 kg lele per hari dengan hasil sekitar 150 kg lele asap. Jadi, dalam sebulan ia dapat menyerap lele segar sebanyak 15 ton dan menghasilkan sekitar 4,5 ton lele asap yang tahan disimpan selama 6 bulan 

Sulitkah membuat lele asap? Ternyata tidak, modalnya pun tak seberapa. “Cuma pisau ama golok, udah itu aja,” jelasnya dengan logat Betawi yang kental. Di samping kedua alat itu, ia punya bangunan sederhana untuk pengasapan ikan. Bahan bakarnya adalah kayu bakar yang ia beli sebesar Rp250 ribu sekali pengasapan.

Perluas Pasar

Meskipun kini mampu menerobos pasar Jabodetabek, bahkan menjadi pemasok utama lele asap di sentra perdagangan ikan olahan di Pasar Senen, Jakarta, H. Suaeb tidak berniat berhenti sampai di situ saja. Ruang pengasapan berkapasitas dua ton telah ia siapkan untuk meningkatkan produksi. Sementara untuk pasarnya, ia telah menjalin kerjasama dengan PT Carpio Internasional yang akan membantunya dalam suplai bahan baku, teknis pengolahan, dan pemasaran.

Menurut Muchlison Zaini, Direktur Utama PT Carpio Internasional, pihaknya akan menerapkan strategi pricing, marketing, dan packaging untuk lele asap buatan H. Suaeb dkk dengan membidik konsumen yang berbeda. “Ada orang yang preferensinya dengan kemasan bagus dan kini tengah mempelajari volume kemasan yang pas,” ujar pria yang akrab disapa Soni ini.

Untuk itu, Soni menambahkan, jenis dan kualitas produk harus sesuai kebutuhan pasar di segmen ini. Agar dapat memasuki pasar ini harus mengikut standar yang diterapkan, seperti sanitasi dan higienitas, bahkan ketelusuran produk (traceability). Kini pihaknya siap memberikan pelatihan pada Kelompok Usaha Tani Citra Dumbo dalam memproduksi lele asap yang sesuai standar.

Mantan direktur PT Phillips Seafoods Indonesia tersebut menambahkan, selain pasar lokal, pihaknya berencana membidik pasar mancanegara yang dihuni banyak warga Indonesia, seperti Malaysia, Singapara, Hongkong, dan Timur Tengah. Sedangkan untuk pasar vertikalnya, ia akan mendiversifikasi produk ikan asap, antara lain belut, pari, tuna, dan marlin.

Suplai bahan baku, pembinaan produksi, dan pengembangan pasar merupakan tiga hal yang dibutuhkan industri kecil. Hal itu disampaikan Victor Nikijuluw, Direktur Usaha dan Investasi, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP), DKP, di sela-sela acara penandatangan kemitraan usaha pengolahan hasil perikanan antara PT Carpio Internasional dan Kelompok Usaha Citra Dumbo (28/2).

Menurut Victor, saat ini terdapat 24.864 unit industri pengolahan ikan dan 23.944 unit (96%) di antaranya adalah kegiatan usaha skala kecil dan menengah. “Kami ingin mereka menjadi industri kecil tapi kuat, mempunyai daya saing, produknya aman dikonsumsi, dan mampu masuk pasar menengah atas,” jelas Victor. Untuk itulah peran swasta seperti PT Carpio Internasional diperlukan, yakni menciptakan nilai tambah.

Enny Purbani T.

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain