Situasi pasar udang meleset dari skenario buruk yang ditulis semula. Pelaku bisnis udang maupun pejabat pemerintah, sejak pertengahan tahun silam menyiarkan, akibat resesi ekonomi, pasar udang Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa akan menyusut signifikan.
Namun di pintu 2009, ternyata pemandangan tidaklah terlalu suram. Memasuki minggu kedua Januari sampai Februari, harga udang bergerak naik dan stabil. Kendati tingkat harga itu masih belum sebagus prakrisis dan masih belum cukup aman terhadap kenaikan biaya produksi. Kenaikan harga udang memang lebih disebabkan keterbatasan suplai dari negara-negara asal, yang menurunkan produksi karena kenaikan harga sarana produksi.
Di pasar Amerika, pada akhir minggu ketiga Februari, harga udang windu (beku) eks Indonesia dari ukuran sedang sampai besar tercatat US$3,20—US$5,95 per kg. Sedangkan udang Vanname (Indonesia white shrimps - EZ peel/IQF) dari ukuran 51/60—16/20 laku US$3,3—US$5,2 per kg. Sementara yang dimasak tanpa kulit berkisar US$3,5—US$4 untuk jenis Indonesian Whites Tail-Off Farmed, dan antara US$4—US$5 untuk Whites Tail-On Farmed (sumber: Shrimp News International - yang menghimpun catatan dari US Department of Commerce, NOAA, NMFS).
Di Jepang udang ukuran sedang terasa langka. India dan Indonesia dalam dua minggu pertama 2009 berhasil mendapatkan selisih US$0,3 per kg lebih tinggi dibandingkan Desember 2008. Tapi mereka tidak bisa mendapatkan harga lebih bagus untuk udang ukuran besar. Udang Indonesia ukuran 8/12—41/50 dihargai sama seperti Desember, US$13—US$5,3 per kg. Itu pun dari kiriman yang terakhir ke Jepang, dan kini stok jenis itu sudah tersendat. Kalau pun ada, harganya menyesuaikan dengan tingkat daya beli konsumen.
Dirjen Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan Made L. Nurdjana menyatakan, pada 12 Februari silam, harga udang mulai menguat rata-rata satu dollar AS per kg karena permintaan dari pasar internasional berangsur pulih. Mulai bulan ini, katanya, permintaan mengarah ke ukuran di atas U-50 (50 ekor udang per kg).
Harga udang ukuran 50 ekor per kg naik dari Januari yang masih Rp40.000 menjadi Rp45.000 per kg awal Februari. Pascakrisis, Indonesia mengalihkan produksi ke udang ukuran kecil yang murah karena sempat diberitakan konsumen AS beralih ke udang ukuran 70 ekor per kg. Kini terjadi titik keseimbangan antara permintaan ukuran 50 dan 70. Sebab, menurut Made, kalau harga udang ukuran yang lebih besar naik, praktis harga udang kecil naik.
George Chamberlain, Presiden Global Aquaculture Alliance, lembaga advokasi internasional untuk perikanan budidaya, melihat, selama 2007—2010 produksi udang di dunia akan tumbuh 6% yang didominasi produsen di kawasan Asia Tenggara. Produksi udang Indonesia bersama negara ASEAN lainnya (Thailand, Vietnam, Filipina) masih akan mengalami pertumbuhan bagus. Pemandangan pasar udang tetap cerah, apalagi pelaku agribisnis udang dan pemerintah akan membuka pasar baru, yang tidak hanya bergantung AS, Jepang, Uni Eropa, seperti selama ini. Ada prospek di Eropa Timur, Timur Tengah, serta di Asia Timur: Korea Selatan dan Taiwan.
Namun kita harus bertindak cepat karena pada saat kita masih berkata “akan” atau “nantinya”, Thailand sudah siap dengan roadmap baru memasuki pasar di Rusia dan Timur Tengah. Dengan roadmap 2009–2011 itu, Thailand akan menggenjot produksinya sampai 500 ribu ton dengan nilai ekspor 100 miliar Baht, dari yang sekarang, 450 ribu ton senilai 70—80 miliar Baht. Program itu termasuk rekam jejak udang sehat. Di luar Thailand, saingan terdekat kita adalah Vietnam dan Filipina.
Keseimbangan baru harus dituntut dengan memperbesar pasar lokal. Itu yang telah dilakukan India dan Vietnam yang memperbesar pasar domestik serta membangun jalan dan fasilitas untuk mendekatkannya pada konsumen dalam negeri. Pasar domestik kita baru menyerap 5% dari 300 ribu ton produksi nasional. Para petambak di sini masih juga berjuang mendapatkan bantuan bagi meringankan biaya produksi, terutama untuk solar dan penyediaan benih. Jaringan cold-storage, kapal berpendingin, armada pengangkutan antar-pulau, rehabilitasi hutan bakau, pembangunan prasarana pemasaran, masih sebatas mimpi.
Daud Sinjal