Senin, 2 Maret 2009

Sinergi Tiga Pilar Amankan Pasokan

Dengan menggandeng bank, kemitraan petani untuk memproduksi jagung bagi pabrik pakan bisa berjalan lebih mulus.

Kemitraan penanaman jagung dengan petani bukan barang baru bagi beberapa pabrik pakan, termasuk PT Japfa Comfeed Indonesia (JCI), perusahaan unggas terintegrasi. Sejak 1990-an, menurut Hardiono Pandutama, Vice President Head of Procurement, Feed Operation JCI Sidoarjo, Jatim, JCI sudah membangun kemitraan. Dengan pendanaan dari perusahaan, kemitraan tidak hanya melibatkan kelompok tani dan dinas pertanian setempat, bahkan kepala daerah pun ikut meneken nota kesepahaman.

Namun, kerjasama itu tidak berjalan mulus karena berbagai kendala. Antara lain, keterbatasan dana petani, tidak lancarnya pengembalian dana dari petani, dan pola tanam bergantian dengan komoditas lain.

Belum jera terhadap kejadian itu, JCI Unit Lampung kembali mencoba membangun kemitraan dengan menggandeng perbankan. Tujuannya menjaga kontinuitas pasokan bahan baku pakan juga mendorong dan mengembangkan jagung di Lampung. Kalau dulu areal kemitraan mencapai 1.000 hektar (ha), kini lebih sempit  “Dengan biaya produksi yang terus meningkat, sementara kemampuan pendanaan perusahaan terbatas, maka luas areal kemitraan dikurangi,” ujar Herman Wijaya, Kepala Unit JCI Lampung kepada AGRINA di kantornya (13/2).

Sebetulnya, lanjut Herman, banyak petani ingin program kemitraan, tapi tidak semuanya bisa dipenuhi. Sewaktu kemitraan didanai sendiri oleh perusahaan, JCI menerjunkan penyuluh guna membimbing petani dalam menanam jagung. Di bawah bimbingan penyuluh, produksi jagung petani bertambah baik. Selain itu, perusahaan juga membantu kelompok tani mitra berupa mesin pipil jagung seharga Rp5 juta per unit. 

Menggandeng Bank

Sejak 2008, JCI melibatkan Bank Mandiri dalam program kemitraannya. Bank Mandiri mengucurkan dana kepada petani mitra melalui skim kredit ketahanan pangan dan energi (KKPE) sebanyak Rp2,5 juta per ha. Jangka waktu pengembaliannya 6 bulan atau dua kali panen. Dalam mengucurkan dana, bank pelat merah ini difasilitasi oleh Koperasi Indonesia Sejahtera (KIS) yang juga berperan menerima cicilan dari petani untuk selanjutnya disetor ke Bank Mandiri.

Suku bunga kredit yang dikenakan kepada petani 7% per tahun.  Jika mengalami kegagalan, petani diberi kesempatan untuk menjadwal ulang pengembalian kredit.

Sebelum menerima kredit, petugas dari Bank Mandiri mensurvei para petani. Petani yang dinyatakan layak menerima kredit umumnya mereka yang sudah menjadi mitra JCI dan selama ini pengembalian kreditnya berjalan lancar serta budidayanya berhasil.  

Musim tanam Oktober-November 2008, Bank Mandiri mengucurkan dana sebesar Rp1,8267 miliar untuk 323 petani. Petani ini tergabung dalam 16 gabungan kelompok tani dengan luas areal 571 ha. Rata-rata satu kelompok terdiri dari 30 petani yang masing-masing menanam 2 ha. Lokasinya di Kalirejo, Metro Kibang, dan Gunung Sugih, di Kabupaten Lampung Tengah.

Di Gunung Sugih terdapat 5 kelompok tani dengan luas areal 186 ha dan dana yang dikucurkan sebesar Rp669 juta. Sementara di Kalirejo sebanyak 8 kelompok dengan luas areal 246,5 ha dan dana yang disalurkan Rp885 juta. Di Metro Kibang sebanyak 3 kelompok dengan 76 ha dengan dana Rp270,2 juta.

Harga Pasar

Berbeda dengan dulu, kemitraan ini memerlukan persyaratan tambahan, yakni petani harus memiliki sertifikat atas lahan yang akan ditanami jagung. Petani juga harus mendapat rekomendasi dari JCI dan ada perjanjian jual beli jagung dengan JCI.

Menurut Herman, sebagian petani mitra sudah panen. Rata-rata produksi mereka 5—6 ton per ha. Setiap jagung yang dikirim ke perusahaan, langsung dibayar. Hanya untuk pabrik yang berlokasi di daerah, pembayaran baru dilakukan siang hari karena dananya dikirim dari pabrik di Tanjung Bintang.

Harga jual disepakati berdasarkan harga pasar saat jagung dipanen agar tidak ada pihak yang dirugikan akibat fluktuasi harga. Herman mengungkap, saat ini (13/2) harga jagung asalan sekitar Rp1.750 per kg, turun dari Rp3.700 pada Juli lalu. “Jika harga penampungan kita tetapkan pada awal musim tanam, tentu petani rugi ketika harga jagung melonjak seperti pada bulan Juli lalu,” alasannya.

Karena harga pembelian berdasarkan harga pasar, petani bisa saja menjual produksinya ke perusahaan lain yang harga pembeliannya lebih mahal. Ini berbeda dengan program kemitraan pada tanaman perkebunan lainnya yang mewajibkan plasmanya menjual produk ke perusahaan inti.

Menyoal kualitas, kata Herman, jika kadar air hasil panen petani lebih rendah, harganya akan lebih mahal. Namun jagung petani rata-rata berkadar air 40%. Menurut pengamatannya, harga di Lampung sangat dipengaruhi harga di Jabodetabek yang merupakan pangsa pasar terbesar jagung di Tanah Air. Saat ini harga jagung di Jabodetabek sekitar Rp1.925 per kg untuk kadar air 15%. “Jadi dengan biaya pengeringan Rp150 per kg dan ongkos angkut Rp100 per kg, maka wajar jika harga pembelian kami Rp1.750 per kg,” jelasnya. Jika harga jagung dari Lampung lebih tinggi, umumnya pabrik pakan di Jabodetabek mengambil bahan baku utama ini dari Jatim dan Jateng.

Untuk menekan biaya pengeringan, JCI menggunakan batubara bermutu rendah yang lebih murah dibandingkan solar sejak harga solar industri melonjak tajam. Investasi yang dibenamkan untuk mengubah bahan bakar pengering jagung ini mencapai miliran, tapi dengan volume jagung yang ditampung cukup besar, investasi tersebut bisa lebih cepat impas.

Kelangkaan Pupuk

Seperti juga era 1990-an, JCI tetap saja menghadapi sejumlah kendala. Terutama soal kelangkaan pupuk ketika musim tanam tiba. Sementara dana kredit dari bank untuk membeli pupuk nonsubsidi tidak mencukupi.

Kalau soal bibit, perusahaan dan bank menyerahkan sepenuhnya kepada petani. “Mereka sudah berpengalaman bibit apa yang cocok dan tumbuh subur di kebunnya. Berdasarkan pengalaman selama ini, jarang terjadi gagal panen karena kesalahan bibit atau bibit palsu,” urai Herman.

Kendala lainnya, menyangkut kadar air. Musim panen sekarang jatuh pada saat musim hujan sehingga petani kesulitan mengeringkan jagung. Akibatnya, jagung mereka berkadar air tinggi. “Karena itu kita tidak bisa menetapkan kadar air secara ketat,” imbuhnya.

Untuk memenuhi kebutuhan pabrik, perusahaan menampung jagung dari petani dan pedagang di berbagai sentra jagung di Lampung. Di Ketapang, Lampung Selatan, misalnya, JCI menampung 30.000 ton per tahun dalam dua kali musim panen. Pada saat musim panen seperti sekarang, JCI bisa menampung 200 ton per hari. Tahun lalu JCI Unit Lampung menampung 95.000 ton. Tahun ini perusahaan menargetkan membeli 120 ribu ton. Sebanyak 100 ribu ton digunakan untuk sendiri, sisanya dipasok ke JCI di daerah lain.

Herman berharap, peningkatan sebesar 25.000 ton tersebut dapat tercapai mengingat panen jagung tahun ini lebih baik dibandingkan tahun lalu karena musim hujannya lebih panjang. “Namun untuk tanaman jagung kemitraan, targetnya tetap 500-an ha. Bank Mandiri mungkin baru memperluas areal ketika kredit yang berjalan sekarang ini sudah lunas semua,” ujarnya menutup perbincangan.

Syafnijal D. Sinaro (Kontributor Lampung)

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain