Tahun ini, pemerintah menggulirkan 18 paket pengembangan sapi potong yang diintegrasikan dengan perkebunan, seperti sawit, kopi, dan kakao.
Raut wajah Achmad Faqhri tampak cerah. Pemimpin Pondok Pesantren Haqqul Yaqin, Desa Muaro Panco Barat, Kec. Renah Pembarap, Kabupaten Merangin, Jambi, ini mengisahkan 32 ekor sapi dari bantuan modal Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3). “Sapi itu sudah dipelihara masyarakat sekitar sini,” katanya, Kamis (19/2).
Hari itu, Pondok Pesantren ini kedatangan Menteri Pertanian Anton Apriyantono. “Tempat kami menjadi pilot project (proyek percontohan) agribisnis peternakan untuk mensuplai (swasembada) daging sapi tahun 2010,” tutur Achmad. “Kami bangga ada menteri yang mau datang ke desa kami,” kata Ishak, 50, Kepala Desa Muaro Panco Barat.
Modal untuk Peternak
Bantuan LM3, merupakan salah satu program penguatan modal untuk petani, selain Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), yang dilaksanakan Deptan. Namun, “Karena jumlah petani dan desa di Indonesia cukup banyak, maka pelaksanaan kegiatannya dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan,” kata Anton yang didampingi H. Nalim, Bupati Kabupaten Merangin, ketika berdialog dengan petani.
Memang, menurut Anton, pada acara konferensi pers Agrinex di Deptan, Jakarta, Jumat (26/2), kadang kala petani, termasuk peternak sapi potong, kesulitan mengakses modal perbankan. Untuk itulah, antara lain, diluncurkan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS).
Melalui skim kredit ini, petani hanya menanggung beban bunga 5% per tahun, sedangkan selisih bunga komersial perbankan dengan bunga yang dibebankan kepada petani tadi, ditanggung pemerintah. Tahun 2009, anggaran yang dialokasikan untuk subsidi bunga KUPS ini Rp145 miliar. Melalui skim ini, diharapkan para peternak bergairah untuk bergerak pada industri pembibitan sapi sehingga bisa menambah populasi sapi potong.
Pada saat ini, populasi sapi potong sekitar 11,2 juta ekor. Padahal, setiap tahun kita membutuhkan daging sapi sekitar 400 ribu per tahun atau setara 2,8 juta ekor sapi lokal. Padahal, jumlah kelahiran anak sapi (pedet) rata-rata 1,7 juta ekor per tahun. Dengan siklus produksi sapi 3—4 tahun, jika tidak ada upaya penambahan populasi, kita terus-menerus kekurangan sapi.
Menurut Yudi Guntara Noor, Ketua Umum Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia, kontribusi sapi lokal dalam memenuhi kebutuhan daging nasional sekitar 70%. Sisanya impor, baik sapi bakalan (digemukkan di Indonesia), daging, dan jeroan (hati dan jantung).
Dari kondisi itu, kita mengenal tiga pelaku utama dalam industri sapi potong. Pertama, peternak rakyat, yang melibatkan sekitar 2,86 juta rumah tangga peternak, dengan populasi sapi sekitar 10,73 juta ekor. Kedua, industri penggemukan sapi dari sapi bakalan impor, dengan kapasitas produksi sekitar 600 ribu ekor per tahun. Ketiga, importir daging dan jeroan (hati dan jantung), yang biasanya untuk bahan baku industri pengolahan makanan.
Integrasi di Perkebunan
Untuk memperkuat industri sapi potong nasional, selama dua tahun terakhir ini, pemerintah juga sudah menggulirkan program peternakan sapi yang terintegrasi dengan perkebunan, seperti sawit, kakao, dan kopi. “Ini merupakan sharing dari perkebunan dalam rangka mempercepat swasembada daging sapi pada 2010,” kata Achmad Mangga Barani, Dirjen Perkebunan, Deptan, kepada AGRINA, di Jakarta, (26/2).
Pada tahun ini akan digulirkan 18 paket. Setiap paket terdiri dari 500 ekor sapi senilai Rp400 juta, yang akan dibagikan melalui kelompok tani. Program integrasi ini digulirkan di Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Lampung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. “Dari sisi perkebunan, ini bisa meningkatkan pendapatan petani, melalui produksi daging,” kata Mangga Barani. Selain itu, kotoran sapi dapat dijadikan pupuk dan biogas.
Tentunya, yang berhak menikmati program integrasi sawit-sapi potong ini adalah petani plasma. “Pemerintah itu memberikan subsidi kepada petani (plasma), bukan pengusaha (perusahaan inti). Pemerintah membantu petaninya,” tegas Dirjenbun.
Sebenarnya, pada saat ini, petani-sawit sudah bisa tersenyum. Ketika Mentan berkunjung ke Desa Kota Bani, Kecamatan Putri Hijau, Bengkulu Utara, terungkap, harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani (20/2) sudah mencapai Rp1.020 per kg. Padahal, sebelumnya, menurut Sutarmin, salah seorang petani-plasma PT Agricinal (milik Nelson Mamustang Manurung), harganya sekitar Rp450 per kg.
Menurut Manurung, di Bengkulu Utara, perusahaannya mempunyai luas lahan 7.000 ha. Setiap petani-plasma, rata-rata kebagian dua hektar. Rencananya di Bengkulu Utara ini akan ditambah lagi 12.000 ha. Tapi, yang baru disetujui melalui program revitalisasi perkebunan, sekitar 3.600 ha. “Kita terus berupaya dan menyeleksi petaninya,” kata Manurung, di sela-sela dialog Menteri Pertanian dengan petani-plasma sawit Agricinal.
Perusahaan inilah, yang sebenarnya, menjadi perintis pengembangan sapi potong terintegrasi dengan kelapa sawit. Nah, program integrasi sapi potong dan sawit, bantuan LM3 (untuk sapi potong), maupun skim KUPS, diharapkan dapat memperkuat industri sapi potong nasional. Dan, yang lebih penting lagi, meningkatkan kesejahteraan petani.
Syatrya Utama