Senin, 16 Pebruari 2009

Ketahanan Pangan Berkelanjutan

Global Agenda Council on Food Security  yang bertemu di Dubai awal November lalu melihat, krisis pangan masih akan berlanjut sampai lima tahun ke depan. Krisis pangan tertimpa pula oleh krisis keuangan global, akibatnya pembangunan ekonomi, khususnya investasi di bidang pertanian tersendat. Dewan Agenda Dunia untuk Ketahanan Pangan yang terdiri dari pimpinan pemerintahan, perusahaan niaga, masyarakat madani, lembaga riset, dan perguruan tinggi itu mengingatkan seperenam (lebih dari satu miliar) penduduk dunia masih mengalami kelaparan.

Dunia perlu melipatduakan produksi pangan yang sekarang demi menjamin ketahanan pangan sampai 40 tahun ke depan. Salah satu rekomendasi penting yang diajukan Dewan adalah mendorong peningkatan produktivitas dan perbaikan sistem pertanian. Di antaranya dengan memprioritaskan teknologi pertanian, memacu penelitian dan pengembangan serta segera menerapkan hasil-hasilnya.

Joachim von Braun, Dirjen International Food Policy Research Institute (IFPRI-berkedudukan di Washington DC) mengatakan, krisis pangan 2007—2008 terjadi akibat pengabaian kelewat lama terhadap investasi pertanian, khususnya di bidang riset dan pengembangan (R&D), berpadu pula dengan krisis finansial pada paruh kedua 2008. Kegiatan ini stagnan sejak pertengahan 1990-an. Suatu kajian IFPRI menunjukkan apabila riset pertanian dilipatkan dua kali, dari US$5 miliar ke US$10 miliar dari 2008 sampai 2013, hasil pertanian bisa mengentaskan 282 juta orang miskin di sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan pada 2020.

Pada 1798, Thomas Robert Malthus mewanti-wanti, standar kelayakan hidup manusia akan merosot karena peningkatan jumlah penduduk lebih pesat ketimbang produksi makanan. Sudah menjadi takdir, katanya, populasi bertumbuh secara geometrik, sementara produksi pangan bertambah secara aritmetik.

Namun para ahli ekonomi sejak 200 tahun lalu juga sudah menanggapi Malthus, bahwa dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia bisa mengatasi populasi yang kurvanya menanjak itu.  Dengan kemajuan perbenihan, pemupukan, perawatan tanah, irigasi, mekanisasi, pasokan pangan tetap dapat memenuhi kebutuhan populasi yang bertambah. Segenap aspek kemajuan teknologi – pertanian, energi, pengairan, manufaktur, kontrol penyakit, manajemen informasi, transportasi, dan komunikasi membuat produksi bertumbuh mengimbangi populasi.

Indonesia berhasil mencapai surplus beras pada 2008 (2,3 juta ton) dan bakal berlanjut (diprediksi 3,8 juta ton) 2009 ini. Partai pendukung presiden yang berkuasa memanfaatkannya sebagai bahan propaganda. Mengklaim keberhasilan oleh rezim yang sedang berkuasa atau yang pernah berkuasa adalah lumrah. Namun, sementara mengklaim suatu kemajuan, kita juga harus tetap waspada karena ada faktor-faktor di luar kekuatan kita yang bisa menghancurkan pencapaian itu. Sekali pun harga pangan dunia turun, tapi banyak rakyat di sejumlah negara tetap menahan lapar atau harus membeli makanan dengan harga mahal. Itu disebabkan oleh gangguan cuaca, bencana alam, badai topan, gelombang tinggi, peperangan, juga kerusakan lingkungan. Tergerogoti pula oleh dampak krisis keuangan dan ekonomi global.

Indonesia sendiri, kendati berhasil swasembada pangan, masih berjuang meningkatkan nilai tukar petani dan kemampuan daya beli rakyat. Dan tampaknya kita juga masih dalam takdir Malthus. Ini karena kita abai atau kurang memberi prioritas pada pengembangan riset dan penerapan teknologi. Kurang memberi prioritas pada pembangunan prasarana (jalan, transportasi antarpulau, irigasi), mengentengkan potensi besar pasar dalam negeri. Sementara pertanian pangan tumbuh gemilang, toh kita belum juga bisa mengatasi malnutrisi anak-anak balita di pedesaan.

Tanpa sadar, kita juga berperilaku seperti kebanyakan warga masyarakat dunia yang percaya bahwa selama masih punya duit, kita masih bisa membeli makanan. Sementara alam sudah memberi pertanda kita tetap bisa makan, asal tetap menjaga daya dukung alam untuk menumbuhkan sumber makanan itu.

Temuan-temuan teknologi adalah untuk diterapkan menjaga keseimbangan ini secara berkelanjutan. Ketika AGRINA kali ini menulis tentang beras hibrida, kita bicara tentang salah satu terobosan teknologi untuk ketahanan pangan berkelanjutan. 

Daud Sinjal

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain