Senin, 16 Pebruari 2009

Lima Kali Panen Kembali Modal

“Walupun sudah enam kali dipanen, tanaman tampak masih baik dan subur.”

Demikian diutarakan Bupati Majalengka H. Sutrisno, SE, M.Si., di sela-sela panen raya cabai keriting di Desa Sunia Baru, Banjaran, Majalengka, Jabar. Didampingi Ir. H. Juana, Kepala Dinas Pertanian Majalengka, H. Bayu Jaya, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Hj. Titi Siti Latifah-Camat Banjaran, Afrizal Gindow-Direktur Pemasaran PT East West Seed Indonesia (EWSI), dan rombongan, Sutrisno melakukan panen di kebun milik Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Karya Tani, Sabtu (7/2).

Menurut Asep Pahrudin, Ketua Gapoktan Karya Tani, panen tersebut adalah panen yang ketujuh kali. “Sebenarnya, cabai keriting hibrida ini bisa dipanen 15 kali selama 5—6 bulan,” ungkapnya.

Contoh Keberhasilan

Di atas perbukitan Desa Sunia Baru, Gapoktan Karya Tani mengusahakan cabai keriting varietas Tanamo dan Lado produksi EWSI seluas 120 hektar (ha). “Kami memilih Tanamo dan Lado karena merupakan cabai keriting varietas hibrida unggul,” ujar Asep. Produksi cabai hibrida ini, lanjut dia, bisa dua kali lipat dari jenis lokal (nonhibrida). Oleh sebab itu, sejak tiga tahun silam, Asep bersama 199 anggotanya beralih ke hibrida. Sebelumnya, sejak 2001, Asep mengupayakan cabai keriting lokal.

“Agar usaha tani itu menguntungkan, produksi yang dihasilkan harus berkualitas. Untuk menghasilkan produksi berkualitas, mesti menggunakan bibit unggul,” jelas Sutrisno, membenarkan Asep beralih ke hibrida. “Kami memproduksi benih hortikultura berkualitas tinggi. Dan 90% produk yang kami pasarkan merupakan hasil pemuliaan para ahli dalam negeri sehingga produknya sesuai untuk dikembangkan di Indonesia,” imbuh Afrizal.

Menurut pengalaman Asep, produksi Tanamo maupun Lado rata-rata 1 kg per tanaman per musim. “Hampir setiap bunga menjadi buah sehingga produksinya tinggi,” ungkap pria paruh baya itu. Namun, kata Afrizal, sebenarnya, potensi hasil Tanamo dan Lado mencapai 1,5 kg.

Dengan menggunakan benih hibrida, hitungan Asep, biaya produksi meningkat, sekitar Rp50-jutaan per ha per musim. Namun, “Dari lima kali panen saja, biaya produksi sudah impas, jadi panen-panen berikutnya merupakan keuntungan,” tandasnya.

Luas lahan milik Asep memang hanya 7.500 m˛, tapi hasil panennya mencapai 7 ton dengan kualitas baik. Dengan harga rata-rata Rp12.000 per kg, setiap musim ia mengantongi pendapatan Rp84-juta. Karena itu, dari cabai pula ia mampu membiayai kuliah anaknya di sebuah universitas di Majalengka.

“Kami berharap, dengan keberhasilan Gapoktan Karya Tani dapat meningkatkan semangat dan motivasi masyarakat Banjaran dalam mendukung proses kegiatan pembangunan di segala bidang kehidupan,” harap Siti Latifah.

Bantuan Modal

Kecamatan Banjaran potensial untuk pengembangan agribisnis hortikultura. Dari luas wilayah 3.365 km2, 60% kawasannya merupakan lahan pertanian. Sayang, infrastruktur, terutama jalan menuju sentra produksi banyak yang rusak. Bahkan akses jalan menuju sentra produksi cabai di Sunia Baru, kurang memadai. Selain medannya berbukit, jalannya sempit, hanya bisa dilalui sepeda motor. Sepeda motor itulah sarana transportasi para petani. Tak pelak itu menjadi salah satu faktor biaya produksi budidaya cabai cukup tinggi.

Asep memberi ilustrasi. Ongkos ojek untuk mengangkut satu karung (35—40 kg) pupuk kandang Rp3.000. Sementara kebutuhan pupuk kandang per ha rata-rata 600 karung. “Biaya angkut pupuk kandang saja mencapai Rp216-juta (120 ha),” jelasnya. Atas dasar itu pula, Sutrisno berjanji memberi bantuan kepada Gapoktan Karya Tani satu buah sepeda motor dan dana penyertaan modal Rp500-juta. “Sepeda motor itu untuk membantu mengangkut hasil panen,” ucapnya.

Dadang

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain