Pintu gerbang susu impor terancam terbuka lebar seiring berlakunya kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru.
Perjanjian perdagangan bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru itu dikabarkan akan ditandatangani pada pertemuan tingkat tinggi ASEAN bulan ini. Dalam kesepakatan itu, Indonesia akan menghapus bea masuk 10.397 pos tarif (93,17% dari total pos tarif) mulai 2009—2020. Sebanyak 645 lainnya diturunkan tarifnya dan 117 sisanya dikecualikan.
Sementara itu Australia akan menghapus seluruh bea masuk produk impor dari ASEAN mulai 2009—2015, sebanyak 91,77% dari total pos tarifnya diturunkan selama 2009—2010. Sedangkan Selandia Baru akan menghapus 97,4% dari jumlah pos tarifnya dengan tahapan 80% pada 2009 dan 90% pada 2012. Dalam perjanjian itu, Australia dan Selandia Baru menargetkan pembukaan pasar daging sapi dan produk susu di Indonesia.
Belum Pasti
Menurut Fauzi Luthan, Direktur Budidaya Ruminansia, Ditjen Peternakan, Deptan, rencana perdagangan bebas ini hingga saat minggu kedua Februari belum ada kepastian penandatanganannya. “Walaupun nantinya tetap dilaksanakan, tentunya akan ada dampaknya bagi peternakan. Ada dampak baiknya, ada juga dampak buruknya,” jelasnya.
Kalangan pelaku peternakan, khususnya sapi perah, merespon rencana itu dengan was-was. Eka Budhi Sulistyo, peternak sapi perah di Boyolali, Jateng, mengatakan, jika diberlakukan, perjanjian tersebut akan mengancam keberlangsungan peternakan sapi perah di dalam negeri. “Apalagi sikap pemerintah untuk membantu peternak sapi perah di pedesaan masih sangat minim hingga saat ini,” ucapnya melalui telepon.
Karena itu Eka mengimbau, sebelum membuka perdagangan bebas, sebaiknya pemerintah melakukan perbaikan kelengkapan infrastruktur, pengarahan dan bimbingan ke peternak, tataniaga susu, jaminan mutu genetik sapi perah, dan sarana produksi ternak. “Jika kita belum siap, lalu pasar bebas dibuka, peternak kita akan terancam banjirnya dumping produk susu sehingga berdampak harga susu segar semakin lebih murah,” terang alumnus Fakultas Peternakan Unsoed itu.
Padahal, harga jual susu segar saat ini pun, menurut Eka, masih belum ideal. Di tingkat peternak rakyat masih di kisaran Rp2600—Rp2.800 per liter. Sedangkan di tingkat peternakan modern harga masih di atas Rp3.400. “Harga tersebut masih di bawah harga ideal yang diharapkan, berkisar Rp3.800 sesuai dengan perhitungan operasional sekarang,” cetusnya.
Hal senada diungkap Dedi Setiadi, Ketua Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Ia berpendapat, perdagangan bebas akan membuat peternak sapi perah makin terhimpit karena harga susu segar di tingkat peternak bakal turun lantaran harga produk susu kian murah.
Untuk meyakinkan peternak, Fauzi menambahkan, pemerintah akan memperkuat sistem budidaya agar efisien dan efektif sehingga mampu bersaing dalam perdagangan bebas itu. “Tentu segala kebijakan yang dibuat pemerintah sudah diperhitungkan dampaknya,” tandas Fauzi.
Harga Turun
Di tengah rencana dibukanya perdagangan bebas ini, Industri Pengolahan Susu (IPS) menurunkan harga beli susu segar dari peternak. Kondisi ini dipengaruhi melemahnya harga susu dunia dari US$4.800 menjadi US$2.350 per ton. Dedi mengutarakan, penurunan harga jual susu ini terjadi sejak pertengahan Januari 2009. Frisian Flag menurunkan harga beli susu sebesar Rp100 per kg, sedangkan Nestle Rp200 per kg. "Penyebab pastinya belum diketahui, tetapi penurunan harga ini dipengaruhi melemahnya harga susu dunia,” katanya.
Hal tersebut menyusutkan keuntungan peternak karena harga hijauan tidak turun, pada kisaran Rp150—Rp200 per kg tapi harga konsentrat melambung sampai Rp1.600 per kg. Bila susu impor murah, bukan tak mungkin IPS mengalihkan sepenuhnya bahan baku dari mancanegara. Peternak pun gigit jari.