Senin, 2 Pebruari 2009

Dicari CPO Berkaroten Tinggi

Di Indonesia, karena produktivitasnya rendah, varietas Elaeis oleifera seakan-akan mati.

Kandungan karoten minyak sawit mentah (crude palm oil atau CPO) Indonesia sekitar 400—500 ppm (bagian per sejuta) atau 400—500 mg karoten per kg CPO. Padahal, Codex Alimentarius Commission, badan di bawah FAO/WHO, mensyaratkan 500—2.000 ppm. Akibatnya, ”CPO kita nggak bisa masuk Codex,” kata Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, anggota Dewan Minyak Sawit Indonesia, kepada AGRINA, Kamis (29/1).

Hal itu, menurut ahli teknologi pangan dari Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, tersebut, berarti mutu CPO kita rendah. Padahal, untuk keperluan pangan, Eropa dan Amerika Serikat membutuhkan CPO berkadar karoten tinggi. ”Kita belum mampu bersaing dalam mutu,” tegas Tien, saat ditemui pada seminar yang diselenggarakan Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia dan Seafast Center di Bogor.

Karoten, antara lain berguna sebagai antikanker, antioksidan, dan pembentuk Vitamin A. Secara teknis, menurut Tien, kadar karoten pada CPO kita bisa ditingkatkan. Dengan menggunakan Super Critical Fluid Extraction (SCFE), dalam penelitian untuk disertasinya, ia dapat meningkatkan kadar karoten CPO dari 400 ppm menjadi 4.000 ppm. Tapi untuk itu butuh investasi besar. Karena itu, Tien menyarankan, agar pemulia menemukan varietas yang menghasilkan CPO berkadar karoten tinggi. Jadi, ”Kita mulai dari hulunya,” katanya.

Dengan Transgenik

Menurut Dr. Dwi Asmono, Direktur Riset PT Sampoerna Agro Tbk., Indonesia mempunyai varietas sawit berkadar karoten tinggi, yaitu Elaeis oleifera (minyak sawit merah), yang diintroduksi dari Suriname, Brasil, dan Kolombia. Kandungan karotennya  mencapai 4.000 ppm. Tapi karena produktivitasnya rendah, varietas ini seakan-akan mati.

Selama ini yang menjadi prioritas adalah produktivitas sehingga yang dikembangkan di Indonesia, menurut Dwi, Elaeis guineensis – Dura dan Elaeis guineensis – Pisifera. Dalam 30 tahun terakhir, melalui pemuliaan konvensional, yang berbasis seleksi individu maupun progeni, bisa dihasilkan 33 varietas DxP (Dura x Pisifera), dengan peningkatan potensi produktivitas dari 4,3 ton CPO per hektar per tahun pada 1970 menjadi 7—11 ton pada 2006.

Melalui pemuliaan genomik (transgenik), menurut Tien, mestinya kita bisa meningkatkan produktivitas E. oleifera. Teknik ini dengan penyisipan gen pengendali produktivitas minyak sawit, baik dari tanaman sejenis maupun tanaman lainnya. Atau teknologi ini dapat diterapkan untuk menggenjot kadar karoten pada varietas DxP yang ada selama ini.

Malaysia mampu menghasilkan varietas sawit dengan CPO berkadar karoten sekitar 800 ppm melalui transgenik sehingga CPO-nya bisa masuk Codex. Memang Eropa antitransgenik, tapi Malaysia tidak peduli, ”Kalau mereka (Eropa) tidak mau, kami punya pasar di Amerika Serikat,” Tien mengutip seorang pejabat Malaysia.

Memang, menurut Dwi, dalam lima tahun terakhir, teknologi genomik kelapa sawit kian dinamis. Asiatic Centre for Genome Technology Sdn Bhd (ACGT), yang fokus pada aplikasi teknologi genomik untuk perbaikan tanaman kelapa sawit dan tanaman lain, sudah mengumumkan rancangan pertama genom kelapa sawit. Begitu juga Synthetic Genomics Inc., perusahaan swasta yang menyediakan solusi berbasis genomik.

Bagaimana Indonesia? Akhir 2008, Sumatra Bioscience (Lonsum), anak perusahaan Grup Salim, mengumumkan paten teknologi hibrida F1 kelapa sawit berbasis bioteknologi. Tien berpendapat, bioteknologi, baik kultur jaringan maupun genomik, memang diperlukan dalam menemukan varietas sawit yang menghasilkan minyak bermutu, termasuk yang berkaroten tinggi. ”Saya merasakan sekali keunggulannya,” tegasnya pula.

Syatrya Utama

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain