Hamparan pasir di pesisir pantai tak mesti cuma jadi wahana para turis bermain. Di Kulonprogo pasir dapat “dihidupkan” dan menghidupi para petani.
Dulu kawasan seluas 3.000 hektar (ha) di selatan Kulonprogo hanyalah hamparan pasir. Namun sejak 1985, sejumlah petani yang berhimpun di Paguyuban Petani Lahan Pasir (PPLP) mulai “menghidupkan” hamparan pasir itu menjadi lahan pertanian produktif. Rata-rata kepemilikan lahan mereka 4.000—5.000 m2 per orang.
Menurut Sukarman, saat ini 1.600 ha di antaranya sudah berhasil menghidupi petani yang mengupayakan semangka dan cabai. “Tapi sebenarnya semua jenis tanaman bisa ditanam. Terong, kacang panjang, caisim, dan palawija bisa ditanam dan hasilnya baik. Produktivitas cabai dengan bibit hibrida dapat mencapai 30 ton per ha dan semangka 25—40 ton per ha,” ungkapnya.
Keunggulan Lahan Pasir
Lebih jauh Sukarman menuturkan nilai plus lahan pasir dibandingkan lahan sawah. Tanah mudah diolah, relatif aman dari penyakit, awal panen bisa maju, masa panen lebih panjang, dan saat musim sekering dan sebasah apa pun tanaman masih bisa dibudidayakan.
Lahan pasir mudah diolah karena teksturnya gembur sehingga petani lebih hemat waktu dan biaya pengolahan. Umur awal panen juga maju secara signifikan. Cabai dapat mulai dipetik buahnya pada umur 60 hari, sedangkan di lahan sawah umumnya 70—80 hari. Sementara semangka panen umur 50 hari atau 10 hari lebih awal dari semangka di lahan sawah.
Masa panen juga lebih panjang. Cabai yang ditanam pada Maret bisa bertahan hingga November dengan interval pemetikan empat hari sekali meskipun produksinya mulai menurun. “Pada lima bulan pertama, yaitu sampai Agustus produksinya mencapai 30 ton per ha. Jika diteruskan sampai Oktober atau November menjadi 40 ton ha,” terang Sukarman. Dengan masa panen yang lebih panjang itu, petani selalu mendapat harga jual yang lebih baik. Pasalnya, pasokan dari pembudidaya di lahan sawah sudah berakhir. Panjangnya, masa panen diduga karena pemberian pupuk kandang yang cukup berlimpah sewaktu penyiapan lahan.
Tanaman di lahan pantai juga relatif aman dari gangguan penyebab penyakit, terutama cendawan Fusarium atau biasa disebut penyakit mati gadis. Serangan penyakit ini membuat cabai mati layu sebelum berbuah. Sukarman memperkirakan hal itu terjadi karena angin laut yang berhembus mengandung garam yang tidak disukai mikroorganisme penyebab penyakit. Arah angin yang selalu berasal dari laut juga bersih dari hama dan penyakit karena berasal dari laut lepas. “Yang jelas, tidak pernah ada yang sampai puso,” tandasnya.
Hal yang paling disukai petani adalah lahan yang tetap dapat ditanami ketika musim kering. Sementara lahan sawah tidak bisa ditanami. “Kami sangat senang dengan musim seperti ini karena harga cabai atau semangka menjadi tinggi. Pada bulan Agustus pun kami bisa memulai tanam,” terang Sukarman. Air tidak menjadi kendala lantaran petani mudah memperoleh air dari sumur bor atau sumur renteng. Berbeda dengan lahan sawah yang kadang terganggu saluran irigasinya. Apalagi yang hanya mengandalkan hujan. Istimewanya lagi, tatkala intensitas hujan cukup tinggi, petani tak kuatir tanamannya tergenang. Pasalnya, tanah pasir yang sarang (porous) membuat air terus meresap ke dalam tanah.
Pengelolaan Lahan
Berdasarkan pengalaman anggota PPLP, investasi awal untuk “menghidupkan” lahan pasir adalah sekitar Rp3 juta—Rp4 juta per 1.000 m2. Dana tersebut untuk pembuatan sumur bor, pembelian paralon, pompa, dan selang-selang air.
Setelah sarana pengairan siap, lahan kemudian diolah dengan pencangkulan dan pemupukan dasar. Biaya pencangkulan sekitar Rp1 juta per 1.000 m2. Sedangkan kebutuhan pupuk dasarnya mencakup 1,5 kuintal ZA, 50 kg Phonska, dan 1,5—2 ton pupuk kandang. Pengolahan lahan ini dilakukan setiap awal tahun. Selanjutnya, disiapkan pula pestisida yang senilai sekitar Rp500 ribu.
Pupuk kandang sebagai pupuk dasar ditaburkan ke lahan kira-kira seperempat bagian dari 1,5—2 ton tersebut. Selebihnya diberikan dua kali pada 10 hari setelah tanam dan sebulan kemudian. Pupuk kandang ini juga bermanfaat untuk menjaga kelembapan tanah dan mencegah penguapan air dari permukaan lahan.
Pupuk kimia diberikan seminggu sekali dengan dosis berdasarkan pengalaman masing-masing petani sesuai tingkat kemiskinan unsur hara. Pemupukan degan cara dikocorkan agar efisien dan tidak meninggalkan residu kimia yang besar di tanah. Pada saat penanaman, dilakukan penyiraman setiap pagi dan sore. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan bahan bakar sebanyak satu liter bensin per hari.
Pola Tanam
PPLP mempunyai pola tanam standar yang harus diikuti petani yang akan menanam cabai dan semangka. Petani yang akan menanam jenis tanaman lain dipersilakan sesuai keinginannya. Pola tanam ini dimaksudkan untuk memudahkan petani mengontrol harga dan memutus siklus penyakit.
Setelah pengolahan lahan, petani menanam semangka sebagai komoditas pokok pada Januari dan panen pada akhir Februari. Pada bulan-bulan ini hampir tidak ada daerah yang dapat menanam semangka karena curah hujan yang tinggi. Akibatnya petani mendapat untung yang sangat memadai.
Pada Maret petani menambah pupuk kandang sekitar 2 ton per 1.000 m2 dan mulai menanam cabai hingga berakhir bulan Agustus. Pada Agustus ini sebagian petani kembali tanam cabai dan sebagian lagi mulai mengupayakan semangka berdasarkan prediksi harga dan keinginan masing-masing. Yang memilih cabai menimbang, pada bulan itu, Kabupaten Brebes sebagai sentra cabai mengalami kesulitan bertanam karena terkendala musim. Sedangkan yang menanam semangka memanfaatkan keadaan terik selama musim panas Agustus sampai Oktober. Pada saat musim panas seperti ini harga semangka cukup tinggi lantaran banyak orang ingin mengonsumsi buah yang menyegarkan.
Penjualan hasil panen PPLP dilakukan secara berkelompok. Dengan model penjualan yang demikian, harga komoditas bisa menjadi lebih mahal Rp1.000 per kg dibandingkan dengan dijual sendiri. Penjualan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal DIY dan Jakarta.
Untuk cabai, hasil tanaman di lahan pasir lebih unggul dalam daya simpan. “Sampai seminggu tidak apa-apa,” tegas Sukarman. Hal itu karena kadar air cabai yang berasal dari lahan pasir pantai lebih rendah ketimbang cabai asal lahan sawah.
Sayang, kemapanan anggota PPLP itu terusik karena lahan tempat mereka berusaha hendak dijadikan lokasi penambangan pasir. Mereka khawatir nantinya program reklamasi pascaproyek akan terbengkalai seperti yang terjadi di Kabupaten Purworejo. Akhirnya, lahan menjadi tidak bisa ditanami kembali.
Faiz Faza (Yogyakarta)