Meskipun iklim usaha perunggasan 2009 masih menghadapi berbagai hambatan, diperkirakan industri ini masih akan mengalami peningkatan.
Menurut Paulus Setiabudi, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU), produksi unggas nasional tahun ini diperkirakan sekitar 950 juta ekor bibit ayam atau naik 50 juta dari 2008 yang mencapai 900 juta. "Meskipun iklim investasinya stagnan pada 2009, kami optimis masih terjadi peningkatan produksi hingga mencapai 4%," ujarnya.
Selain bibit ayam (day-old chick-DOC), produksi ayam akan meningkat menjadi 945 juta ekor dan telur meningkat menjadi 1,15 juta ton dibandingkan pada 2008 yang hanya 890 juta ekor dalam bentuk karkas (daging tanpa kepala dan kaki) dan 1,1 juta ton telur.
Sedangkan Askam Sudin, Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Pakan Indonesia (GPMT) mengatakan, akan terjadi kenaikan produksi pakan ternak nasional menjadi 8,7 juta ton pada 2009 atau naik 0,57 juta ton dari 2008 yang hanya 8,13 juta ton. Apalagi, jika benar, terjadi surplus 2,5—3 juta ton jagung pada 2009. “Pabrik pakan akan senang karena jagung menjadi bahan baku utama pakan yang mencapai 54,1 % dari total bahan pakan untuk ternak,” katanya.
Sementara menurut Hartono, Ketua Pusat Informasi Pasar (Pinsar) Unggas Nasional, produk unggas yang akan tetap bertahan, bahkan bisa meningkat produksinya, adalah telur ayam. Hartono memperkirakan pada Tahun Kerbau dalam kalender Cina ini produksi telur akan meningkat 5% dari produksi 2008 yang sekitar 860 ribu ton.
Hartono berujar, telur merupakan jenis makanan yang berprotein tinggi, murah, mudah dijangkau, dan praktis. Kendati ada penurunan daya beli akibat melemahnya kinerja berbagai sektor perekonomian yang berdampak berkurangnya pendapatan masyarakat, tapi manusia tetap butuh makan.
Iklim Usaha Kondusif
Target tersebut akan terpenuhi jika sepanjang 2009, keamanan tidak banyak terganggu, produksi bahan baku lokal meningkat, tidak ada lagi pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap komoditas pertanian beserta hasilnya. Namun beberapa pelaku usaha tetap mengkhawatirkan penurunan daya beli masyarakat karena imbas dari krisis global, tren kenaikan harga pakan, dan dampak dari berlangsungnya Pemilu 2009.
Hartono memprediksi, harga jual rata-rata tahunan telur dan broiler diperkirakan akan naik sebesar 10% dibandingkan tahun lalu. Sedangkan peluang peningkatan permintaan produk unggas justru terbuka setelah krisis finansial global mengingat produk unggas menjadi termurah hingga memungkinkan terjadi substitusi dari konsumsi ruminansia serta ikan yang menjadi kian mahal dibandingkan produk unggas.
Seandainya, tambah Hartono, diasumsikan pengaruh krisis finansial 2008 cenderung bersifat netral pada pasar unggas nasional, sisi pasokan dalam keadaan stabil serta berakhirnya gejolak harga minyak dunia, maka pengaruh Pemilu 2009 mendatang diperkirakan minimal mendekati yang terjadi pada masa Pemilu 2004.
Pada 2004, 9—11 pekan pertama, harga jual broiler mengalami tekanan akibat persepsi keamanan. Tapi kemudian mengalami penguatan dalam waktu 30-an minggu. Begitu juga halnya pada harga telur nasional.
Menurut Paulus, tentunya perusahaan perunggasan juga berharap pemerintah menelurkan kebijakan-kebijakan yang membuat iklim usaha kondusif dan memberikan stimulus ekonomi pada dunia usaha termasuk perunggasan. Kecuali itu juga menstabilkan kurs rupiah terhadap dollar Amerika, dan menurunkan suku bunga Bank Indonesia (BI rate).
“Pemerintah juga harus membantu petani dalam hal bibit jagung hibrida dan menjaga kestabilan harga, serta stabilitas suplai dedak padi, selain itu juga harus ada perbaikan infrastrukturnya,” harap Paulus.
Sedangkan untuk pihak pengusaha, Paulus mengimbau agar seluruh pemangku kepentingan menggenjot efisiensi, promosi, dan kampanye gizi produk perunggasan. Khusus peternak, mereka harus turut memperbaiki jalur pemasaran yang ada selama ini.
Hartono masih mempunyai harapan yang baik terhadap bisnis perunggasan dengan alasan sebagian besar usaha peternakan unggas pedaging dan telur berlokasi di pedesaan. “Karenanya pemerintah dituntut untuk mencegah masuknya produk-produk pertanian impor ilegal, dumping, serta selundupan secara ketat dan harus konsisten melindungi perekonomian nasional pada umumnya dan bisnis unggas nasional,” sarannya.
Daya Saing
Dari kalangan akademis, Arief Daryanto, Direktur Pascasarjana Manajemen dan Bisnis (MB-IPB), mengatakan, salah satu strategi agar tetap bertahan dalam bisnis yang persaingannya semakin ketat dengan berupaya total tanpa henti untuk meningkatkan daya saing. Ia menjelaskan, ada beberapa faktor yang menentukan perkembangan industri perunggasan. Pertama, industri perunggasan harus segera dicarikan jalan keluar terkait ketergantungan impor bahan baku pakan ternak. Dari seluruh total pakan nasional, 83% di antaranya pakan untuk unggas. Biaya pakan pada produksi unggas sekitar 60%—70% dari total biaya produksi. “Diperlukan upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi jagung dalam negeri,” ucap Arief.
Kedua, industri perunggasan harus menerapkan prinsip skala ekonomis usaha, yaitu semakin meningkatkan skala usaha supaya biaya produksi rata-rata lebih rendah. Ketiga, pemerintah seharusnya melindungi produk perunggasan dalam negeri dari ancaman produk luar baik legal maupun ilegal.
Sependapat dengan Arief, Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo, mengemukakan, sungguh ironis di tengah besarnya potensi alam Indonesia tapi bahan baku pakan ternak masih banyak impor. ”Komponen impor pakan ternak cukup tinggi. Kondisi ini membuat harga produk ternak mahal,” katanya.
Padahal, Indonesia memiliki sumber bahan baku yang berlimpah jika pemerintah dan kalangan industri mau mengoptimalkan. Tepung sagu bisa menjadi salah satu solusi. ”Semestinya tepung sagu ini bisa diolah untuk kebutuhan pakan ternak sehingga komponen impor bisa berkurang bertahap,” kata Siswono.
Dia menambahkan dari dua juta hektar tanaman sagu di dunia ini, satu juta hektar berlokasi di Indonesia. Namun, kurangnya perhatian terhadap potensi sagu ini membuat 3,5 juta ton potensi tepung sagu terbuang percuma.
Tri Mardi Rasa, Yan Suhendar