Senin, 5 Januari 2009

Impor Tak Dapat Ditawar Lagi

Impor sapi perah menjadi satu-satunya yang paling realistis ditempuh untuk mendongkrak produksi susu nasional.

Itu pula yang dilakukan Pemda Jatim buat meningkatkan produksi susu segarnya.  Setiap hari Industri Pengolahan Susu (IPS) yang ada di Jatim membutuhkan 1.500 ton susu segar. Dari jumlah itu, peternak lokal hanya mampu memenuhi sebanyak 500 ton. Kekurangannya yang 800—1.000 ton ditutup dari impor dalam bentuk susu bubuk.

Sigit Hanggono, Kepala Dinas Peternakan Jatim, mengatakan, populasi sapi perah di wilayahnya saat ini tidak dapat memenuhi permintaan produksi susu. “Jumlah sapi perah di Jatim sebanyak 139.277 ekor. Padahal semestinya dibutuhkan sebanyak 400 ribu ekor. Jadi, Jatim masih kekurangan 260.723 ekor,” paparnya di sela acara penyambutan kedatangan 180 sapi impor dari Australia di Bandara Juanda, Surabaya, pertengahan Desember tahun silam.

Lebih jauh mengenai pengembangan produksi susu lokal, Sigit mengatakan,  pemerintah sudah mengupayakan berbagai cara, misalnya dengan pembibitan sapi perah (breeding), perubahan pakan, pengelolaan kandang, dan peningkatan nutrisi. Namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil memuaskan sehingga cara satu-satunya yang harus dilakukan adalah impor sapi.

Dalam sepuluh tahun terakhir, imbuh Sigit, pemerintah belum pernah mendatangkan sapi dari luar negeri. Sehingga praktis sapi-sapi yang ada sekarang merupakan pengembangan sisa impor, terutama dari Australia. Semakin meningkatnya kebutuhan susu nasional mau tidak mau harus diatasi dengan peningkatan jumlah sapi.  “Memang tidak ada pilihan lain selain mengimpor sapi perah agar kita bisa memproduksi susu bubuk sendiri karena susu impor makin mahal,” tandasnya.

Hal senada diungkapkan oleh Yuliantoni Queen dari PT Greenfields Indonesia, peternakan sapi perah terintegrasi yang berlokasi di Desa Babadan, Kec. Ngajum, Kab. Malang, Jatim. “Memang populasi ini masalah klasik yang tidak terpecahkan dan sampai saat ini selalu jadi wacana,” ucapnya. Jadi, pihaknya pun mengambil langkah impor sapi perah. Alasannya, kata dia, paling tidak ada tiga. Pertama, setiap tahun sapi hanya mampu melahirkan satu ekor.  Itu pun kalau berhasil, jika tidak bisa dua tahun. Kedua, sapi mulai produktif menghasilkan susu itu setelah berumur dua tahun. Ketiga, untuk membibitkan sendiri nilai investasinya sangat besar.

Swasta Pertama

PT Greenfields Indonesia mengimpor sapi perah Frisian Holstein dari Australia. Selama 2008 produsen susu berlabel Real Good dan Yahuii ini menargetkan dapat memasukkan 1.200 ekor tetapi, menurut Yuliantoni Queen, kemungkinan tidak tercapai. Pasalnya, jumlah yang sudah masuk baru sampai pertengahan Desember lalu 633 ekor. Ditambah sekitar 500 ekor yang masuk dengan kapal bulan berikutnya. 

Pemasukan sapi perah itu ditempuh perusahaan tersebut sebagian melalui kargo udara dan sebagian lainnya dinaikkan kapal. Menurut Jeanette Sunarti, Head of Government Relation PT Greenfields Indonesia, impor dengan angkutan udara bukan yang pertama bagi Indonesia tapi untuk swasta memang pihaknyalah yang pertama melakukannya.

Mengenai pilihan jenis sapi, menurut Yuliantoni, Frisian Holstein memang pilihan utama karena volume produksinya tinggi. Ini disesuaikan dengan produksi susu Greenfields yang 100% susu cair. Produksi itu disuplai oleh 1.500 sapi laktasi dari total populasi 3.400 ekor. Rata-rata produktivitasnya kurang lebih 26 liter per ekor per hari. “Jadi range produktivitas kita, 60 liter itu sekitar 10%—15%, 40—50 liter sekitar 20%, 30—40 liter sekitar 50%, 20—30 liter sekitar 20%, sisanya mungkin sekitar 10% untuk produksi rendah,” rincinya.

Indah Retno Palupi (Surabaya)

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain