Senin, 5 Januari 2009

Berkah Anak Sungai Batanghari

Usaha nila merah menjadi sandaran hidup sebagian penduduk di sekitar bantaran Sungai Batanghari.

Air menjadi sumber kehidupan mahluk hidup, tak terkecuali masyarakat di sekitar daerah aliran sungai. Bukan hanya sebagai sarana mandi, cuci dan kakus, lebih dari itu sungai menjadi sumber mata pencaharian. Begitu setidaknya yang terlihat dari kehidupan sehari-hari masyarakat di Kabupaten Batanghari, Jambi. Puluhan keramba mengapung di badan Sungai Batanghari. Berbagai jenis ikan dibudidayakan sebagai usaha mengais rupiah, termasuk nila merah.

Adalah Muzakir, salah satu potret petani nila merah di Desa Amplu Mudo, Kecamatan Muara Tembesi. Alasan utamanya memilih nila merah sebagai andalan selain menguntungkan juga termasuk jenis ikan yang tidak rewel. “Mudah budidayanya, sudah itu menghasilkan keuntungan besar pula. Harganya juga terbilang stabil,” ungkap pria yang sudah bergelut di usaha nila sejak satu dasawarsa silam ini.

Bahkan, menurut pengakuan Muzakir, setiap rumah makan saja di Batanghari paling sedikit membutuhkan 20 kg nila per hari. Bagaimana dengan kebutuhan resto di kota besar, seperti Jambi atau Jakarta? Itu menjadi gambaran betapa terbukanya peluang usaha ini.

Harga Cukup Stabil

Diceritakan Muzakir, November lalu kisaran harga ikan bernama ilmiah Oreochromis niloticus tersebut di kolam Rp18.000—Rp20.000 per kg. Bila telah sampai ke pedagang, harganya bisa mencapai Rp23.000 per kg. “Kalau harga turun, kita tahan dulu nggak langsung jual. Tetapi harga selalu stabil terus, tidak pernah anjlok,” jelasnya.

Lelaki berusia 40 tahun itu menambahkan, sebesar apa pun hasil panen petani, pasti terserap pasar. Ia mengaku, produksi ikannya tiap panen baru berhasil memenuhi pasar seputaran Batanghari saja. Berdasarkan pengalamannya selama ini, permintaan nila merah akan membludak tiap menjelang Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri.

Dari sekitar empat bulan masa budidaya, Muzakir biasanya berhasil mengangkut sekitar 300 kg nila merah segar per kolam. Di Sungai Batangtembesi, anak Sungai Batanghari, ia memiliki 32 buah kolam apung. Hitung-hitung tiap kali panen paling sedikit Rp6 juta masuk koceknya.

Di antara semua kolamnya, ia hanya menyisakan satu kolam untuk budidaya jenis ikan lain, yaitu ikan patin. Sebab, diakuinya, “Siklus budidaya ikan patin lebih lama ketimbang nila, kurang lebih sekitar enam bulan. Jadi, sebenarnya lebih enak usaha ikan nila merah,” papar petani yang mempekerjakan tiga orang karyawan ini. 

Masih mengenai pilihan jenis ikan, pria yang baru tiga bulan melepas masa lajangnya itu menuturkan keengganannya memelihara nila hitam sebagai komoditas utama. Soalnya, hasil panen nila hitam sering tak seragam ukurannya. “Bak jari tangan, jadi ada yang besar, ada yang kecil sekali. Padahal pasar butuh ikan ukuran sedang,” jelasnya. Padahal tonase panen nila hitam lebih tinggi ketimbang yang merah. Dengan harga jual relatif sama, ia berpotensi mendapat hasil lebih. Namun ia tetap tidak tergiur ke nila hitam.

Mudah

Lebih mendalam tentang aktivitas budidayanya, Muzakir menuturkan, kesemua kolamnya berukuran 0,7 m x 2 m dengan kedalaman 1,5—2 m. Pembuatan kolam apung menggunakan bambu dan menghabiskan anggaran sekitar Rp2 juta per kolam. Untuk model yang lebih kuat, dapat dipilih bahan dari drum atau besi. Selain biayanya lebih besar, kedua macam bahan tersebut juga bisa karatan.

Untuk urusan benih, petani yang lulusan SMU ini selalu membeli dari Balai Penelitian Air Tawar Sungai Gelam, Jambi. Biasa ia memilih benih ukuran 8—12 inci yang harganya Rp230 per ekor. Setiap kolam ditebar sebanyak 2.000 ekor benih. Ia menjadwal waktu tebar dua minggu sekali dari satu kolam ke kolam lainnya.  “Ini supaya panen tidak berbarengan, dan bisa terus panen,” lanjutnya.

Biaya selama budidaya, menurut hitungan Muzakir, sebanyak Rp2,5 juta per siklus per kolam. Biaya tersebut dibelanjakan membeli pakan pabrikan dan obat-obatan. Porsi pembelian pakan lebih banyak daripada obat-obatan. Sedikit berbagi tips, ia mengingatkan, saat air sungai pasang dan keruh, sebaiknya menggunakan pakan yang mengapung. Jika kondisi air sudah membaik, pakan tenggelam bisa diberikan kembali.

Kini Muzakir tengah menabung untuk memperbanyak lagi jumlah kolam apungnya. Ia berharap dengan skala usaha besar jangkauan pasarnya akan semakin luas. “Pasar selama ini tidak mengenal musim bagi nila merah. Lagi pula kita dihadiahi Sungai Batangtembesi dan Batanghari. Semua anugerah Tuhan. Kenapa tidak dimanfatkan? Yang penting, jangan dirusak,”ucapnya bijak

Jadi, dengan biaya produksi sekitar Rp2,5 juta, mendatangkan hasil Rp5 juta bersih per kolam, dan siklus budidaya singkat, mengisyaratkan usaha ini layak dicoba.

Selamet Riyanto

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain