Sistem ketelusuran (traceability) sebagai prasyarat untuk mendapatkan akses pasar.
Di tengah carut-marut perekonomian dunia sebagai dampak krisis global, industri perikanan perlu mewaspadai kemungkinan munculnya berbagai hambatan perdagangan baru. Salah satunya adalah pemberlakuan sistem ketelusuran (traceability) oleh negara-negara maju.
Walaupun masalah ini masih menjadi ajang perdebatan di forum internasional, beberapa negara maju seperti Uni Eropa (UE) telah mewajibkan semua industri makanan dan perikanan untuk menerapkannya. Peraturan tersebut diberlakukan baik untuk produk makanan lokal maupun impor.
Bukan hanya UE, Jepang pun sedang mempertimbangkan untuk menerapkan sistem itu secara wajib. Demikian pula Amerika Serikat (AS), walaupun tidak akan memberlakukannya secara wajib, tetapi Bioterrorism Act jelas menguraikan pentingnya penerapan sistem itu dalam industri makanan, baik produksi lokal maupun impor.
Ketelusuran adalah kemampuan untuk melacak (menelusuri) asal-usul (history), aplikasi atau lokasi suatu produk melalui rekaman identifikasi. Konsep penelusuran berbagai macam produk mulai dari bahan baku (asal barang) sampai ke tangan konsumen, sebenarnya telah dilakukan banyak industri selama beberapa dekade. Namun introduksi sistem ketelusuran ke dalam sistem distribusi dan keamanan pangan relatif baru.
Ketelusuran dalam industri makanan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melacak dan mengikuti jejak pakan, makanan, dan ternak atau ikan yang dimanfaatkan untuk makanan pada seluruh matarantai produksi, pengolahan, serta distribusi. Prinsip dasar sistem ini adalah melacak produk pada seluruh rantai distribusi, memberikan informasi tentang product ingredients, dan memahami serta mengomunikasikan dampak dari cara produksi dan distribusi terhadap mutu dan keamanan pangan.
Termasuk Nontarif
Sejak Januari 2005, UE menerapkan sistem ketelusuran terhadap produk perikanan impor bagi semua negara anggota. Peraturan itu mencakup: registrasi semua bisnis/industri makanan oleh pihak berwenang (competent authority) dan pemberian approval number; penerapan record keeping secara wajib terhadap pemasok bahan makanan dan bahan baku; dan kewajiban bagi semua produsen untuk membuat prosedur penarikan dari pasar terhadap produk-produk yang membahayakan kesehatan konsumen.
Peraturan tersebut diberlakukan untuk produk makanan lokal maupun impor. Hal ini sesuai EU Regulation 104/2000, semua produk perikanan yang diperdagangkan di negara-negara UE harus diberi label nama komersial dari spesies, metode produksi, dan area penangkapan atau budidaya. Tentu saja, sistem ketelusuran ini menjadi hambatan nontarif bagi negara berkembang termasuk Indonesia.
Bukan hanya itu, baru-baru ini UE juga mengembangkan Tracefish (Traceability of Fish Products), secara elektronik. Juga dibentuk EC Joint Research Center, yaitu untuk mengembangkan database tentang genetics for identification of fish origin (membedakan secara genetik stok-stok ikan komersial penting). Alat ini dapat melacak asal usul ikan yang dijual di pasar dari saat ditangkap.
Keamanan pangan memegang peranan penting dalam menjaga kepercayaan konsumen serta menjamin terus tumbuh dan berkembangnya pasar produk perikanan dan akuakultur dalam era globalisasi. Menurut UE, sistem ketelusuran akan membantu mengatasi merosotnya kepercayaan konsumen terhadap mutu makanan, serta kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Meski demikian, negara berkembang khawatir pemberlakuan sistem ini secara wajib akan menjadi hambatan nontarif terhadap ekspor produk perikanan.
Makin Mendesak
Walaupun belum wajib di AS, tapi US Bio-terrorism and Response Act 2002 mengandung beberapa konsep dasar sistem ketelusuran. Peraturan itu menyebutkan, semua industri pengolahan makanan yang memasok makanan ke AS, baik domestik maupun impor, harus terdaftar. Dan wajib mencatat identitas pemasok serta penerima produk-produk makanan.
Amerika juga menerapkan COOL atau country of origin labeling secara wajib. Sehingga mewajibkan semua pemasok makanan ke AS untuk mencantumkan secara jelas asal usul dari semua produk perikanan. Di samping COOL, Bio-terrorism Act secara jelas memasukkan prinsip dasar ketelusuran, termasuk pendaftaran semua industri makanan oleh Pemerintah AS.
Mengingat sebagian besar negara maju mulai menerapkan labeling dan traceability secara wajib, negara berkembang pun dituntut untuk menerapkan peraturan sejenis agar dapat mengekspor produk perikanan ke negara-negara maju. Dalam perdagangan produk perikanan internasional, ketelusuran semakin mendesak setelah terjadinya pencemaran kloramfenikol pada udang. Di samping itu juga meningkatnya kasus keracunan scombroid, ciguarera, kekerangan, dan kontaminasi logam berat. Ditambah lagi meningkatnya tekanan terhadap produksi makanan yang berkelanjutan seiring semakin menurunnya populasi ikan.
Tampaknya sistem ketelusuran relatif sederhana. Padahal proses pelaksanaannya sangat kompleks dan butuh biaya cukup mahal, sehingga akan menjadi beban tambahan bagi industri makanan. Karena itu, penerapan sistem ini memerlukan dukungan yang kuat dari semua lini dan pemangku kepentingan yang bergerak dalam industri makanan.
Jadi, dalam jangka panjang, tidak ada pilihan lain bagi pelaku bisnis untuk menerapkan sistem ketelusuran sebagai prasyarat mendapatkan akses pasar. Perusahaan yang secara terakreditasi telah menerapkan sistem tersebut akan memperoleh banyak keuntungan, antara lain mendapatkan premi yang lebih baik dari perusahaan asuransi.
Dr. Sumpeno Putro, Peneliti dan Pengamat Perikanan