Senin, 22 Desember 2008

Menengok Olahan Nenas Khas Jambi

Bisnis olahan bisa menuai keuntungan lebih. Selain harga jual tinggi, pembuatannya cukup sederhana.

Saat AGRINA menyambangi Jambi, wajah Desa Tangkit Baru, Sungai Gelam, Muaro Jambi,  tampak berbeda dari daerah sekitarnya. Sebagian besar rumah penduduknya berciri Bugis. Selain itu, seolah melegitimasi sebagai sentra nenas di Jambi, sebuah tugu berbentuk buah nenas tegak berdiri di jantung desa.

Wiratmi, Kepala Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Muaro Jambi mengatakan, Tangkit Baru memang disesaki warga keturunan Bugis. Desa ini juga sejak lama dikenal sebagai penghasil nenas, baik dalam bentuk segar maupun olahan. “Dodol nenas, selai, dan dodol goreng menjadi oleh-oleh khas dari Jambi bagi wisatawan,“ jelasnya.

Lebih dari sepuluh pelaku bisnis olahan nenas terdapat di sana, termasuk H. Baso Intang dengan produknya yang berlabel “Tulimario”. Dalam bahasa Bugis, tulimario berarti selalu gembira. “Kami ingin selalu gembira dan kami harap pembeli juga gembira saat menikmatinya,” terang Nurhayah, penanggung jawab produksi tulimario mewakili sang Bos.

Bisnis yang dimulai sejak 18 tahun silam ini terbilang sukses. Selain mampu menghidupi lima belas karyawan, nyatanya produk Tulimario telah tersebar sampai ke Pekanbaru (Riau) dan Palembang (Sumsel). Pasar swalayan pun sudah ditembusnya.  

Sederhana dan Menguntungkan

Dalam sehari, menurut Nurhayah, sekitar 500 butir buah nenas masuk dapur produksi. Awalnya, H. Baso memanfaatkan nenas dari kebunnya sendiri. Namun makin meningginya permintaan produk olahan, membuat ia terbentur kontinunitas, “Bapak akhirnya membeli dari petani di sekitar sini. Mudah sekali mendapatkannya karena banyak petani nenas. Harganya per butir pun hanya Rp500,” papar wanita berjilbab ini.

Proses pembuatan olahan nenas terbilang sederhana. Nurhayah menjelaskan, setelah dikupas, nenas ditimbang lalu diparut. Untuk membuat dodol, 70 kg hasil parutan masuk ke kuali besar, dimasak sambil diaduk kurang lebih selama lima jam. Tak lupa ditambah 7 kg tepung terigu dan 18 kg gula pasir. Langkah berikutnya, adonan masuk loyang dan didinginkan sehari semalam lalu dipotong kecil-kecil. Sebagian dibungkus sebagai dodol, sebagian lain dijadikan dodol goreng, setelah dibaluri terigu terlebih dahulu.

Berbeda sedikit, saat pembuatan selai, parutan nenas yang digunakan sebanyak 100 kg, dicampur 5 kg garam dan 28 kg gula. Pengadukan hanya empat jam. “Dari 500 butir buah, dapat menjadi 100 bungkus dodol, 70 kg selai, dan 50 bungkus dodol goreng,” Nurhayah lebh jauh menjelaskan.

Setiap bungkus dodol berukuran Ľ kg dipatok Rp5.000. Dodol goreng dengan ukuran sama, dijual Rp7.500. Keduanya dikemas dalam plastik. Sedangkan selai nenas berisi satu kilo yang dikemas dalam wadah cantik dari anyaman bambu dijual Rp12.500, “Rasa dodol gorengnya gurih. Selainya tidak terlalu manis dan nikmat dimakan dengan roti. Dodol nenasnya juga empuk dan tahan lama,” ucap lajang berusia 26 tahun ini seraya berpromosi.

Menjual produk olahan, sambung Nurhayah, lebih menguntungkan ketimbang bentuk segar. Meski ada tambahan biaya produksi, tapi tertutupi dengan nilai jual lebih tinggi. Nenas segar di Jambi hanya dihargai Rp500 per butir. Sedangkan dari dodol saja H. Baso dapat mengantongi Rp500 ribu per hari. Belum lagi dari penjualan selai sebesar Rp900 ribu dan Rp400 ribu dari dodol nenas goreng. Jika ditotal dalam sehari sekitar Rp2 juta masuk koceknya. “Mudah-mudahan ke depan, kami bisa memasuki pasar Jawa dan Batam,” harap Nurhayah menutup perbincangan.

Selamet Riyanto

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain