Harga udang di dalam negeri terjerembab. Benarkah kehancuran itu akibat ulah perusahaan terintegrasi?
Dalam pertemuan para anggota Shrimp Club Indonesia (SCI), di Lampung, 18 Desember lalu, terungkap, sejak Oktober 2008 beberapa cold storage lokal mengaku membeli udang dari CP Prima dengan harga murah, Rp32.000 per kg. Kontrak pembelian itu sampai Januari 2009 sehingga udang dari petambak di luar CP Prima tidak laku karena kalah bersaing. Salah satu cold storage di Jatim, BMI, mengaku saat ini punya stok 1.200 ton udang yang dibeli dari industri udang terintegrasi itu.
Harga udang size 50 di pasar domestik saat ini Rp32.000—Rp35.000 per kg. Padahal sebelumnya masih laku Rp40.000—Rp43.000 per kg.
Bukan hanya itu, menurut Frans, petambak di Lampung, pihaknya mengetahui, sejak Oktober lalu sebanyak 7 truk (21 ton) udang asal Rawa Jitu-Lampung (CP Prima) per hari masuk ke pasar Jakarta sehingga harga udang di pasar lokal kian terpuruk.
Andi Kurniawan, salah seorang anggota SCI, menambahkan, pasokan udang di pasar domestik sekarang melimpah lantaran penjualan udang dari CP Prima. “Hal itu membuktikan, CP Prima mengabaikan kepentingan bersama masyarakat perudangan Indonesia. Padahal para petambak merupakan mitra setia CP Prima selama puluhan tahun, melalui jual beli pakan dan benur,” tandasnya. Selain itu, imbuh dia, CP Prima merupakan perusahaan global profesional, tapi tidak mampu memproyeksi produksi yang sesuai kapasitas pengolahan serta kemampuan memasarkan.
Maksimal 25%
Menanggapi hal itu, Budhi Santoso, Vice President International Marketing PT CP Prima, mengakui, sejak Oktober 2008 pihaknya menjual udang ke beberapa cold storage domestik. Tapi jumlahnya hanya 10% dari kapasitas cold storage di seluruh Indonesia (di luar grup CP), yang setiap hari menyerap 300—500 ton. “Kalau kami menjual 50% dari kapasitas terpakai cold storage itu, kemungkinan bisnis udang di luar CP bisa kolaps. Tapi yang kami jual ‘kan hanya 10%,” kilahnya.
Namun menurut Ferral Bakti, juga anggota SCI, CP Prima adalah perusahaan kawasan berikat yang memiliki izin produksi udang tujuan ekspor bernomor 331/KMK/05/97. Dan memiliki NPWP sebagai perusahaan ekspor No. 43/DJHPK/PEP/10. “Karena dari kawasan berikat, produksinya tidak boleh dijual ke pasar lokal tapi harus ekspor,” ucapnya.
Berdasar ketentuan pemerintah, produk pangan dari industri kawasan berikat dapat dilepas ke pasar domestik maksimal 25% dari total produksinya asalkan membayar fasilitas perpajakan.
Dalam siaran pers CP Prima yang diterima AGRINA (19/12) menyebutkan, tahun ini CP Prima dengan kelompok usahanya memproduksi udang segar sebanyak 86.174 ton. Atau naik 43,52% dibandingkan dengan produksi tahun lalu.
Perlu Diboikot?
Menurut Iwan Soetanto, Ketua Umum SCI, dengan adanya pengakuan Budhi berarti CP Prima telah melakukan pengalihan produk udang ekspor ke pasar lokal. Hal itu diperkuat dengan temuan 7 kontainer pada 9 dan 16 Desember 2008, berisi udang beku milik CP Prima di Pelabuhan Panjang, Bandarlampung, yang dikembalikan pembeli di Amerika Serikat.
Manajer Terminal Peti Kemas PT Pelabuhan Indonesia II Cabang Panjang Bandarlampung, Solikhin, membenarkan pengembalian 7 kontainer milik CP Prima tersebut. Ketujuh kontainer berukuran 40 kaki dengan muatan masing-masing di atas 20 ton itu, hingga laporan ini diturunkan masih ditumpuk di Pelabuhan Panjang. ”Ketujuh kontainer itu kami perlakukan sebagaimana barang impor,” tegas Solikhin.
Kontainer tersebut dikembalikan dengan Kapal MV Buxmoon dengan surat pemulangan atau voice V.0853 masing-masing berkode MWCU5228088, MWCU6686315, MWCU0058436, MWCU0055102, MWCU0053769, dan MWCU6327315. Ditambah satu voice V.0855 dengan kode MWCU5225387.
Penelusuran awal menunjukkan, pengembalian itu terjadi karena ada dugaan transhipment (praktik pemindahan barang impor antarkapal). Ditambah alasan kepabeanan di AS dan kualitas produk yang tidak sesuai permintaan pembeli.
Jauh sebelum pemulangan terjadi, Shrimp News International melaporkan, sejak pertengahan Oktober—pertengahan November 2008, Bea Cukai Los Angeles sudah menahan 30 kontainer udang asal Indonesia. Dari hasil tes terbaru diketahui, udang itu berasal dari China, tetapi di-transhipment dan diberi label produk asal Indonesia oleh beberapa eksportir udang utama Indonesia.
Fajar Reksoprodjo, Corporate Communication Manager PT CP Prima, membenarkan, pada Oktober 2008, secara berangsur 41 peti kemas milik perseroan ditahan dinas kepabeanan dan bea cukai AS untuk dilakukan pemeriksaan dan dikenakan tuduhan transhipment. Namun 34 peti kemas telah dilepaskan. Sedangkan sisanya masih diperiksa penelusurannya. “Tudingan transhipment akan dapat ditangani dengan baik, sebab perseroan tidak pernah melakukan tindakan transhipment,” ungkap Fajar.
Iwan menilai, CP Prima telah merusak pasar udang domestik. Atas dasar itu, “SCI memboikot pakan udang dan benur produksi CP Prima,” jelasnya. Bahkan menurut Iwan, SCI akan melaporkan persoalan itu kepada Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU).
“Kami sangat menyayangkan, SCI telah digunakan sebagai aspirasi oknum-oknumnya untuk mencari-cari kesalahan pihak lain tanpa mau berusaha mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada. Dan berunding bersama para anggotanya untuk menciptakan perluasan pasar udang Indonesia,” ucap Fajar. “Komitmen untuk kerjasama itu sudah dilakukan, tapi CP Prima melanggar. Katanya menjual udang ke pasar lokal hanya sementara, terakhir Juni. Ternyata terus berlanjut,” sergah Iwan.
Dadang WI, Enny Purbani T., Supriyanto (Kontributor Lampung)