Berawal dari menyiasati harga yang jatuh, ternyata produk olahan malah berpotensi menjadi bisnis utama.
Harga jual tinggi dari suatu komoditas memang menjadi daya tarik untuk mengusahakannya. Iming-iming mendapat keuntungan tebal kadang membuat pelaku bisnisnya melupakan stategi usaha. Hal seperti ini pernah terjadi pada bisnis ikan patin di Kab. Muaro Jambi, Provinsi Jambi.
Timan, petani patin di Kec. Kumpeh Hulu, Muaro Jambi, membenarkan cerita itu saat ditemui AGRINA. Tahun lalu harga ikan patin di Jambi sempat anjlok sampai setengah dari harga biasanya yang sebesar Rp12.000 per kg. Penyebabnya, “Kita overproduksi sehingga harganya jatuh. Karena kurang koordinasi, petani serempak tebar benih, jadi panen berbarengan,” ungkap Ketua Kelompok Mina Barokah ini.
Tak mau merugi, Timan dan kawan-kawan mengambil langkah jitu dengan membuat produk olahan. Dibuatnya abon dan kerupuk dari ikan patin. Hasilnya ternyata berlipat ketimbang pemasukan dari penjualan ikan segar. Bagaimana tidak, per kilogram abon laku terjual dengan harga Rp100 ribu. Belum lagi dari penjualan limbah pembuatan abon yang dibuat kerupuk. “Langkah yang awalnya hanya menyiasasti harga ini akan kami seriusi karena hasilnya besar,” tambah bapak berusia 48 tahun itu.
Hasil Berlipat
Urusan membuat abon dan kerupuk, Timan mempercayakannya pada sang istri, Triwarni. Menurut Triwarni, saat ini sebagian besar pasar abonnya masih di seputaran Jambi. Namun, “Permintaan sekarang mulai banyak. Kami juga sudah lempar sampel ke Surabaya dan Bali. Kami menargetkan mampu menembus pasar Jakarta dan Batam,” jelas Ketua Kelompok Wanita Tani Mina Barokoh ini optimis.
Wanita berusia 43 tahun ini mengemas abonnya dalam dua ukuran, kemasan 100 gram dan satu kilogram. Masing–masing dipatok dengan harga Rp10.000 dan Rp100 ribu. Sedangkan untuk kerupuk ikan patinnya, ia pasarkan dengan harga Rp15.000 per kg. Setiap seminggu Triwarni baru mampu memproduksi 75—100 kg abon dan 45 kg kerupuk.
Proses pembuatan abon sangatlah sederhana. Tahapannya diawali dengan penyiangan ikan. Dipilih hanya bagian daging saja yang dibuat abon. Setelah bersih, daging tersebut tersebut dikukus sampai matang lalu dipres.
Langkah berikutnya diberi bumbu. Komposisi bumbu terdiri dari campuran gula, garam, bawang merah, santan kelapa, dan ketumbar. Dari 100 kg ikan patin segar biasanya Triwarni menghabiskan Rp400 ribu untuk belanja bumbu-bumbu. Setelah merata terbaluri bumbu, adonan tersebut digoreng dalam minyak panas. Usai ditiriskan, keesokan harinya abon sudah siap dikemas “Cepat kok, seharian juga bisa selesai prosesnya,” tambahnya. Dari 100 kg ikan patin segar dapat diperoleh 25 kg abon.
Jika pembuatan abon dibutuhkan daging ikan, maka pengolahan kerupuk menggunakan limbahnya, yaitu kepala, duri, dan kulit patin. Menurut Triwarni, mula-mula limbah itu dipresto supaya lunak. Berikutnya, agar lebih halus, digiling sambil dicampur tepung beras. Setelah itu, dicampur air hingga seperti bubur. Tak lupa ditambahkan terigu.
Begitu mengental, campuran tersebut dibentuk menyerupai lontong dan direbus sampai matang. Lalu dirajang dan dijemur. Pembuatan kerupuk sedikit lebih memakan waktu ketimbang abon. Lamanya sekitar tiga hari. Dari 100 kg ikan patin segar dapat dihasilkan 15 kg kerupuk. “Pesanan kerupuk selama ini memang masih dari mulut ke mulut saja, tapi ternyata kami malah kewalahan menerima pesanan ini,” timpal Timan.
Meski begitu, Timan mengaku masih kurang percaya diri memasarkan produk olahannya. Selain masalah bentuk kemasan yang masih ala kadarnya, ia juga harus bersaing dengan abon daging dan abon ikan lain.
Sentra
Bisnis olahan patin itu memang wajar bila tumbuh di sana karena Jambi sejak lama dikenal sebagai salah satu daerah penghasil ikan patin. Tak heran jika produksinya berlimpah. Di Kelompok Mina Barokah saja tercatat ada 635 unit kolam ikan patin.
Sedikit bercerita, menurut Timan, ukuran kolam milik petani Jambi bervariasi, 13 m x 25 m, 13 m x 30 m, dan 10 m x 20 m. Padat tebar benih berbeda tiap kolam. Pada ukuran 13 m x 30 m diisi 6.000 ekor. Sedangkan ukuran 10 m x 20 m dan 13 m x 30 m masing-masing ditebar 2.000 ekor dan 6.000 ekor. Ukuran benih yang ditebar sekitar 5 cm.
Budidaya patin berlangsung enam bulan. Dari rentang waktu tersebut, lanjut Timan, didapat patin yang rata-rata berbobot 500 gram per ekor. “Kalau tebar 2.000 ekor, panennya bisa mencapai 1,3—1,5 ton,” tambah Timan yang membawahi 72 petani ini.
Untuk membuat abon, Timan dan Triwarni biasanya memilih patin berumur lebih dari enam bulan. Sebab, menurut mereka, ikan tua dagingnya lebih tebal dan mekar. Selain menghasilkan banyak daging untuk diolah, daging patin tua juga lebih mudah diproses menjadi abon.
Harga ikan patin segar bulan lalu berkisar Rp11.000—Rp13.000 per kg. Untuk menghindari anjloknya harga, Timan dan kelompoknya kini menjadwal waktu tebar. Selain itu, Timan dan Triwarni bertekad akan terus mengembangkan bisnis produk olahan dari patin karena labanya memang lebih gede ketimbang budidaya. Mereka juga terus melakukan inovasi produk baru tak sekadar abon dan kerupuk.
Selamet Riyanto