Pengembangan agribisnis sapi perah di luar Pulau Jawa menjadi pilihan yang tidak dapat ditunda bila para pemangku kepentingan ingin mendongkrak produksi susu nasional.
Data yang cukup klasik mengatakan, peternak sapi perah di dalam negeri hanya mampu menyediakan sekitar 30 persen dari kebutuhan nasional. Padahal kebutuhan nasional terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan membaiknya kesadaran tentang arti pentingnya konsumsi susu bagi kualitas sumberdaya manusia. Di sisi lain harga susu impor di pasar dunia makin mahal, dari US$2.000 menjadi US$4,200 per ton pada 2007. Solusi paling baik untuk mengatasi hal itu tentu saja memproduksi susu sendiri dengan mengembangkan peternakan sapi perah.
Masih Rendah
Peluang pengembangan agribisnis susu di dalam negeri sangat menjanjikan. Pasalnya, konsumsi perkapita susu penduduk Indonesia baru 9,4 kg per tahun. Sungguh jauh dari konsumsi masyarakat Amerika Serikat dan Australia yang masing-masing 100 kg dan 90 kg per kapita per tahun. Padahal, menurut Prof. Dr. Made Astawan, Ahli Pangan dan Gizi IPB, dalam Seminar Nasional “Pengembangan Agroindustri Usaha Persusuan Nasional untuk Perbaikan Gizi Masyarakat dan Kesejahteraan Peternak” di Yogyakarta, awal November lalu, berujar, susu merupakan sumber pangan ideal yang diperlukan untuk tumbuh kembang anak.
Konsumsi susu penting bagi peningkatan kualitas SDM. “Menurut UNDP (2004), indeks perkembangan SDM (HDI) Indonesia berada pada urutan ke-111 dari 175 negara. Parameter yang dinilai adalah ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Daya saing bangsa di masa depan terkait erat dengan kecerdasan anak saat ini karena kecerdasan berhubungan dengan IQ,”papar Astawan.
Mengenai pasokan susu nasional, Zaenal Bachruddin, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Deptan, merinci, dari produksi susu domestik sebanyak 637 ribu ton (26,5%), dan impor 1,7 juta ton (73,5%) terutama dari Australia dan Selandia Baru. Produksi dalam negeri itu disokong oleh sekitar 300 ribu ekor sapi perah yang 96,7% berada di Jawa dengan kepemilikan 3—4 ekor per peternak. “Jumlah itu sebenarnya tidak ekonomis. Idealnya 10-12 ekor dengan rata-rata produksi 8—10 liter per hari,” imbuh mantan Dekan Fapet UGM ini.
Peluang
Melihat fakta tersebut, sebenarnya produksi nasional masih dapat ditingkatkan. Apalagi, pasar susu naisonal akan makin baik lantaran industri pengolah susu (IPS) tentu akan lebih memanfaatkan susu segar lokal karena harga bahan baku susu di pasar internasional makin melambung. Kenaikan tersebut, ujar Zaenal, karena bagian selatan bumi mengalami kekeringan hebat sehingga produksi susu menurun dan kebijakan subsidi bahan baku susu di Uni Eropa dicabut sehingga pasokan suplai susu dari UE turun.
Karena itu, pengembangan cluster yang memenuhi skala ekonomi dan efisiensi usaha sangat menjanjikan. Bentuknya, agroindustri skala besar yang terintegrasi dari hulu sampai hilir, termasuk pemasarannya dengan sistem kemitraan yang berkeadilan antara peternak rakyat dengan swasta. “Meningkatnya harga susu dunia akan meningkatkan posisi tawar peternak sekaligus menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan peternak di pedesaan. Termasuk pengembangan agroindustri usaha kecil menengah di tingkat Gabungan Kelompok Peternak (Gapoknak). Plus pengembangan pemasaran dan intensifikasi advokasi konsumsi susu kepada masyarakat,” papar Mantan Wakil Rektor UGM ini.
Pernyataan Zaenal diperkuat Petrus Sitepu, Ph.D. Pengusaha susu asal Berastagi, Sumatera Utara ini secara lantang mengutarakan, sampai sekarang sentra pengembangan sapi perah nasional terbatas di Jawa. Dengan mayoritas ternak ada di Jawa, imbuh Lulusan Fapet UGM ini, kondisi peternakan sapi perah mengalami stagnasi karena jelas-jelas Pulau Jawa kesulitan menyediakan hijauan. Ditambah lagi masalah ketersediaan lahan, tentu akan semakin memperparah keadaan pada masa men datang. “Sehingga yang harus dilakukan adalah optimalisasi produksi di pulau Jawa, dan pengembangan peternakan sapi perah di luar Jawa jangan ditunda lagi,” tegas pendiri PT Putra Indo Mandiri Sejahtera Berastagi ini.
Petrus, mantan peneliti di Balai Penelitian Ternak (BPT) Ciawi tersebut dengan lantang mengatakan, siap mengelola ternak para investor yang tertarik mengembangkan ternak di Sumatera Utara. Itu karena, menurut pemilik Daling Farm ini, potensi luar Jawa sungguh luar biasa. Lahan yang sesuai untuk pemeliharaan sapi perah tersedia. Demikian pula infrastruktur cukup baik. Tiga kabupaten di Sumut, yaitu Karo, Simalungun, dan Pakpak yang luasnya sebesar Jabar dan berada di ketinggian di atas 1.000 m, kata dia, siap dikembangkan.
Kecuali memenuhi kebutuhan pasar domestik, imbuh bapak asli Kabanjahe, Berastagi itu, pengembangan produksi susu di luar Jawa juga prospektif untuk diekspor ke negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Jadi, jangan tunda lagi pengembangan sentra susu di luar Jawa.
Ryan Masanto (Kontributor Magelang)