Selasa, 9 Desember 2008

Menyibak Potensi Segitiga Terumbu Karang

Sejak tahun silam Indonesia terbilang eksportir utama rumput laut tropis. Produksinya akan bertambah bila mampu mengoptimalkan segitiga terumbu karang.

Volume perdagangan dunia tropical red algae galactan seaweeds (RAGs) pada 2007 mencapai 230 ribu ton. RAGs yang berbahan dasar raw dried seaweed (RAD), 84% di antaranya berasal dari Indonesia (110 ribu ton) dan Filipina (80.000 ton). Dalam kurun waktu 2000–2007, volume RDS asal Filipina turun sekitar 20.000 ton, tapi Indonesia meningkat hampir 80.000 ton.

Demikian disampaikan Iain C. Neish, Managing Director SEAPlant.net, organisasi yang menyediakan layanan untuk membantu petani mengembangkan sumberdaya berkelanjutan, pada acara The First Indonesian Seaweed Forum, di Hotel Clarion, Makassar. Masih menurut Neish, Indonesia punya potensi meningkatkan produksi rumput laut dengan memaksimalkan wilayah segitiga terumbu karang (coral triangle-CT).

US$20 Miliar—US$30 Miliar

Kawasan coral triangle (CT) mencakup wilayah zona ekonomi eksklusif yang melibatkan enam negara, yaitu Indonesia, Timor Leste, Filipina Malaysia, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon (CT6).  Dalam pertemuan APEC di Sidney, Australia, 8–9 September 2007, Indonesia menawarkan Coral Triangle Initiative (CTI) sebagai suatu program penyelamatan terumbu karang di wilayah tersebut. Hasilnya, CTI masuk ke dalam APEC Leader’s Declaration on Climate Change, Energi, Security, and Clean Development.

Di luar manfaatnya sebagai wilayah konservasi sumberdaya biologi laut, CT yang mencakup luasan 75.000 km2 dengan 100 ribu km panjang pesisir yang terserak di 25.000 pulau, juga menyimpan potensi ekonomi yang besar untuk dikembangkan.  Menurut Neish, wilayah CTI yang 55% berada di wilayah Indonesia, cocok bagi pengembangan produk-produk akuakultur, termasuk rumput laut.

Dalam jangka panjang, produktivitas akuakultur di wilayah pesisir dapat dimaksimalkan  jika dikembangkan secara efektif dengan sistem integrated multitropic aquaculture. “Prospek bisnis rumput laut dunia sangat besar. Pada 2012, produksi akuakultur Indonesia berpotensi meningkat dua hingga tiga kali lipat yang nilainya kurang lebih US$20 miliar–US$30 miliar per tahun,” ujar Neish.

Budidaya rumput laut idealnya dilakukan di wilayah yang tidak dilewati badai, minim penyakit akibat musim, ada kepastian hukum, kepemilikan lahan petani, infrastruktur dan fasilitas pengapalan tersedia. Dari peta coral triangle eco region yang dirilis SEAPlant, diketahui sebagian besar wilayah pesisir Indonesia, seperti barat daya Sulawesi, Laut Banda, NTB, dan NTT, masuk dalam kategori tersebut dan dapat ditanami sepanjang tahun. Berbeda dari sejumlah wilayah pantai Filipina yang kerap dihampiri badai, pesisir Indonesia umumnya aman dari amukannya sehingga aman untuk diusahakan.

Sulsel Serius

Hal senada diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, yang menyatakan, Indonesia mampu memanen rumput laut hingga enam kali setahun. Berbeda dengan sejumlah negara, yang karena iklimnya, hanya bisa panen satu sampai dua kali setahun. Untuk meningkatkan produksi rumput, “Kami akan memberi bantuan berupa peralatan, teknologi, dan pendampingan penyuluhan agar dalam jangka panjang mereka bisa mengembangkan sendiri,” jelas Freddy.

Produksi rumput laut nasional meningkat dari tahun ke tahun. Dalam periode 2003–2006, angka produksinya masing-masing 231.341 ton, 410.510 ton, 910.636 ton, dan 1.079.850 ton. Sulsel adalah salah satu daerah yang serius menegmbangkan rumput laut. “Kami sangat terobsesi menjadi produsen rumput laut terbesar di dunia,” tegas Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo. Meskipun baru dikembangkan sekitar empat tahun lalu, pada 2006 Sulsel mampu menghasilkan 406.474 ton atau lebih 30% dari total produksi rumput laut nasional.

Menurut gubernur yang belum lama terpilih ini, pihaknya siap memperluas kapasitas lahan, meningkatkan SDM, dan memproduksi bibit rumput laut. Tak sampai di situ, Yasin juga menyatakan, akan mengalokasikan Rp80 miliar melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang sebagian besar dialokasikan untuk pengembangan rumput laut. Selanjutnya, ia memimpikan hadirnya industri pengolah rumput laut di sekitar daerah produksi. “Sekarang ini industri pengolahan rumput laut lokasinya jauh dari daerah produksi sehingga mengakibatkan fluktuasi harga,” katanya lagi.

Hal itu sejalan dengan pemikiran Neish yang menyodorkan ide membangun pabrik mini pengolah rumput laut di sekitar lahan produksi. “Investasi untuk sebuah pabrik mini sekitar US$2.000,” jelasnya. Si mini tersebut dapat mengolah sekitar 100 ton rumput laut kering. Sementara itu, Victor P.H. Nikijuluw, Direktur Bisnis dan Investasi, Ditjen P2HP, DKP, menegaskan, pihaknya siap memfasilitasi investor asing yang akan berbisnis rumput laut di Indonesia.

Menurut Nikijuluw, mengantisipasi krisis finansial global ini, pengusaha disarankan untuk bermain di skala menengah dengan mengadopsi sistem cluster. Meskipun demikian, pihaknya juga akan memfasilitasi investor besar. “Kami akan menjual land use planning tiap pemda kepada investor, apa skim maupun insentifnya,” jelas Victor.

Enny Purbani T.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain