Selasa, 9 Desember 2008

Menaksir Bisnis Udang Dunia

Tahun depan, harga udang turun delapan persen. Petambak perlu melakukan efisiensi.

Meski Barack Obama terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat, menurut George W. Chamberlain, faktor ketidakpastian masih mewarnai tahun 2009. “Kita belum tahu ke depan bagaimana,” kata Presiden Global Aquaculture Alliance (GAA) itu dalam seminar  pada acara Indonesian Aquaculture 2008 di Yogyakarta (18/11). Sebagian besar peserta seminar itu anggota Shrimp Club Indonesia yang dipimpin Iwan Sutanto.

Harga Turun

Chamberlain memang sedang membicarakan situasi bisnis udang di dunia, termasuk Amerika Serikat, yang merupakan salah satu pasar ekspor udang Indonesia, selain Jepang dan Eropa. Di AS, hampir 70 persen perekonomiannya dimotori pengeluaran konsumsi, (rumah tangga dan pemerintah). Padahal, konsumen di sana sedang terhimpit oleh tingginya harga BBM, naiknya harga makanan, melorotnya nilai-nilai aset, pengetatan kredit, dan ketidakpastian politik. Belum lagi dengan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Dengan melorotnya Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK), sejak September 2007, penjualan eceran di AS melemah. “Begitu masyarakat Amerika Serikat mengurangi konsumsi, di antaranya konsumsi udang, maka seluruh Amerika Serikat terpengaruh karena 70 persen perekonomiannya didorong pengeluaran konsumsi,” jelas Chamberlain.

Dari data Januari—Mei 2008, terjadi penurunan konsumsi salmon, udang, nila, patin, dan kepiting. Data ini, menurut Chamberlain, menunjukkan, kalau terjadi krisis ekonomi, orang lebih memilih masak dan makan di rumah. Hal ini akan terjadi sampai 2010. Oleh karena itu, “Restoran (seafood) harus mengurangi biaya, tanpa mengurangi kualitas, sehingga mengundang orang-orang untuk kembali makan di restoran,” katanya.

Krisis finansial ini juga mempengaruhi harga udang. Menurut perhitungan GAA, tahun depan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat minus dua persen, sementara pertumbuhan produksi udang dunia tetap lima persen, maka harga udang ditaksir turun delapan persen. Jadi, “Krisis finansial ini sangat berpengaruh terhadap harga udang,” papar Chamberlain.

Dari 2002—2006, pertumbuhan produksi udang budidaya dunia rata-rata 21 persen per tahun, sedangkan 2007—2009 pertumbuhannya melembek menjadi rata-rata enam persen per tahun. Pertumbuhan masih didorong oleh pertumbuhan produksi di Asia Tenggara dan China. Pertumbuhan yang demikian bagus terjadi di Thailand dan Indonesia, sementara di Asia Selatan seperti India dan Bangladesh, agak relatif mandek.

Sejak diperkenalkan di Asia pada tahun 2000, pangsa produksi udang vannamei melesat dengan tajam, yang pada 2007 mencapai 63 persen. Sedangkan udang windu, dalam beberapa kasus cenderung menurun, dengan pangsa produksi 22 persen. Sementara itu, pangsa produksi udang galah sekitar enam persen dan udang lainnya sembilan persen.

Tetap Menggiurkan

Selain Amerika Serikat, yang mengimpor udang sekitar 561.000 ton per tahun, pasar Eropa masih menjanjikan dengan menyerap sekitar 600.000 ton per tahun. Perancis yang menyerap sekitar 108.000 ton lebih suka mengimpor udang beku. Sedangkan Spanyol, yang mengimpor 140.000 ton lebih suka udang berukuran kecil, harga lebih murah, dan belum diproses. “Di Eropa, konsumsi udang cenderung meningkat,” ujar Chamberlain.

Meski dalam situasi krisis, pasar udang di Amerika Serikat dan Eropa tetap menggiurkan. Berbeda dengan pasar udang di Jepang, yang cenderung menurun. Tahun ini, Jepang mengimpor udang sekitar 273.000 ton hampir sama dengan tahun lalu. “Populasi orang Jepang, yang cenderung lebih muda, kurang menyukai seafood, sehingga konsumsi seafood akan terus menurun. Jepang, bukan lagi pasar yang bagus,” tegas Presiden World Aquaculture Society 1995—1996 itu.

Sebagai dampak krisis ekonomi, tahun depan pasar udang akan mengerut dan harganya menurun. Untuk itu perlu melakukan efisiensi dengan memangkas biaya-biaya yang tidak perlu. Tapi, “Jangan terlalu jauh memotong biaya-biaya sehingga mempengaruhi lingkungan dan kesehatan keamanan pangan. Kita tetap berpegang pada kualitas,” saran Chamberlain.

Indonesia, menurut Chamberlain, memiliki keunggulan kompetitif dan dikenal dengan biaya produksi relatif rendah. Yang penting, tetap menjaga mutu udang yang dipasarkan. Dengan keunggulan demikian, “Dalam tahun 2009, idealnya Indonesia paling sedikit terpengaruh dan mudah lolos dari krisis ini,” tandasnya yakin.

Syatrya Utama

KOMPOSISI IMPOR UDANG AMERIKA SERIKAT (Dalam Ton)

BENTUK                                   2005        2006        2007        2008

Processed-Breaded              44.672     49.252     36.491     38.432

Processed-Others                84.838   117.883   101.159     91.240

Peeled                                 148.652   163.637   179.893   175.199

Frozen Shell-on, HL            248.861   256.912   237.187   256.094

TOTAL                                 526.923   587.684   554.730   560.965

Sumber: USDC/NMFS (2008). Dikutip dari George W. Chamberlain (November 2008)

 

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain