Harga terus naik dan permintaan pasar khususnya ekspor masih sangat terbuka.
Salah satu produk turunan dari singkong alias ubikayu adalah gaplek. Salah satu daerah penghasil gaplek di Pulau Jawa adalah Gunung Kidul, Yogyakarta. Mengusahakan gaplek sangat menguntungkan. Bayangkan saja, jika menanam seribu batang ubikayu, rupiah yang bisa masuk kocek Anda diperkirakan mencapai Rp1,5 juta. Meski sampai saat ini ubikayu masih dijadikan tanaman selingan, sejatinya bisnis gaplek berpeluang untuk dikembangkan. Apalagi harga di pasaran dalam tiga tahun belakangan terus terkatrol dan saat ini bertengger pada kisaran Rp1.300 per kg
Pasar Terbuka
Budi Wijaya, pimpinan PT Glory Persada Gunungkidul, perusahaan gaplek di Gunungkidul, mengungkap, setiap musim Kabupaten Gunungkidul mampu menjual gaplek tak kurang 100 ribu ton ke Jakarta, China, Korea, dan Jerman. Gaplek diolah dari singkong yang banyak ditanam pada Januari dan mulai dipanen enam bulan kemudian, yaitu Juli hingga Desember.
Masih menurut Budi, gaplek tersebut banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Hanya yang diekspor ke China, selain digunakan untuk pakan ternak juga menjadi bahan baku alkohol. “Pasar lokal hanya menyerap 10%, ke pabrik pakan ternak di Jakarta, sedangkan 90%-nya diekspor. Dari total ekspor, 70% ke China,” terangnya.
Pasar China, lanjut dia, menginginkan lebih dari 100 ribu ton sekali kirim. Namun pihaknya belum menyanggupi lantaran sering kekurangan pasokan singkong, “Karena kita tak sanggup, China akhirnya mengalihkan permintaan ke Thailand yang mampu memproduksi 5 juta ton. Sedangkan Indonesia total produksi hanya satu juta ton,” urainya.
Suradal, Ketua Asosiasi Ubi Kayu Gunungkidul (AUKG) berpandangan, gaplek asal Gunungkidul lebih diminati konsumen mancanegara ketimbang gaplek Thailand maupun Lampung. Sebab, tingkat kekeringan gaplek dari daerahnya lebih tinggi ketimbang gaplek Thailand dan Lampung yang kadar airnya masih tinggi, sering ditemukan bercak hitam dan jamur. “Normalnya, kadar air gaplek antara 14%--15%,” ujar Suradal.
Menguntungkan
Menurut Suradal, kecenderungan meningkatnya harga gaplek tak terlepas dari dampak isu global yang memacu pemanfaatan bahan bakar nabati. Penggunaan jagung sebagai bahan baku bioetanol sedikit banyak tergantikan perannya oleh gaplek lantaran harga jagung yang meroket. Selain itu, lanjut dia, berdirinya AUKG juga turut berperan mengangkat harga gaplek. Organisasi ini dibentuk untuk memperkuat posisi tawar petani dan meningkatkan kemampuan petani dalam budidaya ubikayu.
Keuntungan mengusahakan ubikayu sebagai bahan gaplek dapat mencapai 100%. Berdasarkan hitungan Suradal, jika menanam seribu batang, maka laba yang didapat mencapai Rp1,5 juta. Asumsinya, setiap batang yang ditanam dengan jarak 2 m x 1 m akan menghasilkan 3 kg gaplek atau 10 kg ubi basah. “Biaya pupuk kandangnya Rp1.000, SP36-nya Rp425. Ureanya nunut (numpang) tanaman yang lain. Bibitnya punya sendiri. Jadi, modalnya hanya Rp1.425 per batang,” bebernya. Bila harga gaplek Rp1.000 per kg saja, maka ada keuntungan Rp1.500 per batang.
Selama ini petani Gunungkidul bertanam ubikayu secara tumpangsari. “Tidak pernah monokultur. Dalam setiap petak selalu ada padi, jagung, kacang tanah, dan ubi kayu. Ubikayu sendiri sebenarnya tidak pernah dipupuk. Pupuknya cuma mengikut jagung dan padi sehingga produktivitasnya hanya menjadi 8—9 ton ubi basah per hektar,” jelas guru SD itu. Padahal jika dipupuk sesuai kebutuhannya, produksi bisa sampai 21 kg per batang. Varietas ubikayu yang bisa dipilih adalah Adira-4, Malang-6, Pandemir, Pandesi, Gatotkaca, dan Kirik. Tiga varietas terdahulu termasuk yang paling banyak ditanam.
Faiz Faza (Yogyakarta)