“Masyarakat jangan resah dengan isu yang dilontarkan orang-orang tidak bertanggung jawab. Telur palsu itu tidak ada.”
Begitu Prof. (Emeritus) Peni S. Hardjosworo, pakar unggas IPB yang juga Pembina Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI) di Auditorium Balai Penelitian Ternak Ciawi sebelum Kongres III MIPI, (12/11), menanggapi beredarnya kabar telur palsu.
Ihwal telur palsu itu cukup menggegerkan masyarakat. Mereka mengkhawatirkan dampak negatif mengonsumsinya. Padahal, telur-telur tersebut hanyalah telur afkiran dari mesin tetas yang setelah 18 hari dieramkan ternyata kosong atau tidak mengandung embrio (infertil).
Lebih jauh Prof Peni mengatakan, keragu-raguan masyarakat tentang keaslian telur tersebut disebabkan penampilan isi telur setelah direbus menjadi tampak aneh, beda dari yang biasa dilihat. “Isu ini dapat menyebabkan konsumen ragu-ragu makan telur, padahal telur merupakan bahan pangan yang bernilai gizi sempurna, dan harganya terjangkau oleh sebagian besar masyarakat,” tuturnya menyayangkan.
Layak Konsumsi
Prof Peni juga menegaskan, telur yang diduga palsu, seperti ditayangkan salah satu stasiun TV, adalah telur asli karena memiliki ciri-ciri khas telur asli, yaitu setelah direbus dan dibelah, tampak garis hitam yang melingkari kuning telur pada bagian yang berbatasan dengan putih telur. Garis tersebut muncul lantaran pemanasan (perebusan) akan memacu terjadinya reaksi antara zat besi yang terdapat pada kuning telur dengan zat belerang dalam putih telur.
Lalu, kuning telur walaupun tidak utuh bulat tetapi masih tetap terpisah dari bagian putihnya. Pasalnya, kuning telur banyak sekali mengandung lemak, sedangkan putih telur sebagian besar terdiri dari air. Lemak dan air praktis tidak dapat menyatu.
Karena itu, masyarakat tidak perlu khawatir dengan berkembangnya isu telur palsu. Masyarakat pun bisa mengecek dengan sangat mudah keaslian telur. “Telur-telur tersebut tetap layak untuk dikonsumsi asal kerabangnya masih utuh dan belum ada tanda-tanda kebusukan,” ucap Peni.
Senada dengan pakar unggas itu, Achmad Dawami, Senior Vice President PT Primatama Karyapersada (PKP), produsen anak ayam, mengatakan, meski telur tidak layak ditetaskan, bukan berarti telur ini tidak bisa dikonsumsi. “Meski berubah menjadi agak keras, telur afkiran ini kadar proteinnya masih 3 persen,” ujarnya. Telur ini, imbuh Dawami, tidak asing bagi masyarakat kelas bawah karena harganya yang amat murah, yaitu sekitar Rp5.000 per kg atau Rp500 per butir. Sementara harga telur konsumsi segar di pasar eceran saat ini hampir Rp14.000 per kg atau Rp1.000-an per butir. “Telur-telur itu adalah telur asli yang bisa disebut KW 2 (kualitas 2, Red.) atau KW3 atau telur afkir, tapi telur itu tidak berbahaya,” tandasnya.
Pencairan Telur
Peni menjelaskan, penampilan telur yang sudah pernah dieramkan akan berubah walaupun tidak tumbuh embrio di dalamnya. Hal ini karena semua telur begitu keluar dari tubuh induk ayam akan mengalami perubahan, yaitu makin lama putih telurnya akan mencair dan kuning telurnya lama-kelamaan pecah. “Telur yang demikian dalam keadaan mentah bila diteropong terlihat terang, oleh karena itu disebut telur padang. Kalau dipecah, kuning telurnya tidak berbentuk bulat,” ucapnya.
Proses perubahan tersebut akan lebih cepat terjadi bila telur berada dalam lingkungan yang suhunya panas, seperti dalam mesin tetas, tempat-tempat penjualan di pasar atau warung bahkan di rumah. Kelembapan yang rendah di sekitar penyimpanan telur juga mempercepat proses pencairan putih telur dan pecahnya kuning telur.
Yan Suhendar, Tri Mardi